Rabu, 01 April 2009

“Exsistensi Perempuan”

Berita KOMPAS kemarin menurunkan salah satu berita tentang laporan hasil pemantaun Komnas Anti kekerasan terhadap perempuan tentang masih besarnya tingkat diskriminasi terhadap perempuan dalam kebijakan daerah [Perda].

***
Sampai detik ini term “diskriminasi” tampaknya masih menjadi term paling popular dalam isu kesetaraan gender. sejatinya perbedaan dua kutub lelaki dan perempuan sudah menjadi perdebatan sejak berabad-abad lalu. dan selama ini, sejarah peradaban perempuan memang dihadapkan pada dua realitas yang sangat kontras. realitas pertama adalah keterasingan perempuan dari pentas existensinya yang dapat kita lihat dalam sejarah di berbagai belahan bumi dan yang terparah adalah di zaman Jahiliah, dimana perempuan tidak punya hak sama sekali, baik hak suara, hak waris bahkan hak untuk hidup, sedang realitas kedua adalah realitas liberal dan permisif (serba boleh) dimana perempuan diberi kebebasan sebebas-bebasnya.

memang fakta bahwa sampai sekarangpun masih banyak perempuan yang terjajah secara intelektual dan secara kultural. sebagian besar perempuan indonesia khususnya, masih sulit untuk memperoleh pendidikan, bukan hanya karena faktor ekonomi tetapi juga konstruk sosial yang masih melekat di masyarakat bahwa perempuan adalah makhluk domestik yang tak lepas dari tugas DSP (Dapur, Sumur, Kasur) sehingga pendidikan di anggap tidak begitu penting bagi perempuan.

kondisi ini juga yang kemudian memunculkan opini baru yang berkembang di masyarakat. satu opini ‘extrem’ tentang emansipasi yang menganggap perempuan yang bekerja di rumah adalah inferior, sekunder dan marginal sehingga ‘mewajibkan’ perempuan untuk berperan aktive di public sphere. menurut saya ini adalah konsep ‘emansipasi’ yang berlebihan.
dan sepertinya permasalahan tentang eksistensi perempuan masih akan menjadi sejarah panjang selama masih ada pihak yang merasa ‘the domninee” dan ada yang merasa sebagai ‘the dominator’. namun saya hanya akan merefrensikan beberapa hal berkenaan dengan penghargaan exsistensi perempuan dan mengeliminir stigma ataupun bias stigma ‘inferior’ pada perempuan:

1. Self awareness
penghargaan pada perempuan harus di mulai dari kesadaran pada diri perempuan itu sendiri, hal ini harus di mulai dari kesadaran perempuan akan pentingnya eksitensi dirinya, bahwa keberadaan perempuan adalah organ yang vital dalam sirkulasi kehidupan di bumi ini. karena dari rahim perempuan lahir tokoh2 pembangun dunia, juga dari rahim perempuan bisa lahir tokoh penghancur dunia, perempuan adalah makhluk yang menempati posisi paling stategis dalam pembentukan generasi di bumi ini. dengan kesadaran ini maka perempuan akan merasa sangat berarti keberadaannya terlepas dari peran apapun yang di jalaninya. disini juga perlu konstruksi pemahaman peran, bahwa peran alami yang di berikan kepada perempuan sebagai ibu rumah tangga bukan lah peran yang inferior tapi justru peran yang signifikan.

2. Self empowerment
pemberdayaan ini pertama2 harus di sentuh dari segi pendidikan (dalam konteks pendidikan yang tidak dikotomis). setelah menyadari keberadaannya maka perempuan mulai menyadari tugasnya dan mulai menyusun strategi untuk melaksanakan tugas tsb. karena itu menurutku pendidikan perempuan sangat lah penting bukan dalam rangka ingin ‘merebut’ posisi laki-laki di berbagai bidang tapi justru untuk memantapkan peran strategisnya yang utama sebagai seorang generation creator, first educator, sampai menjadi pillar of Nation. dengan pendidikan juga akan menaikkan posisi tawar (bargaining power) perempuan dalam rangka mendekonstruksi stigma ‘ketidak berdayaan’ perempuan.

3. Self Appreciaton
hal ini penting, karena sering kali perempuan justru mendekonstruksi kediriannya dengan caranya menghargai dirinya. saat ini ketika bicara tentang perempuan, tidak akan pernah jauh dari hal2 yang bersifat kebenda’an, seperti penampian fisik, kecantikan, etc. lihat saja majalah, koran, atau media elektronik, hampir setiap detik setiap waktu akan di hiasi oleh wajah cantik perempuan dengan berbagai style yang sebagian besar berhubungan dengan entairtainment, atau advertisement yang mengagungkan fisik perempuan. di media jarang sekali perempuan di tampilkan karena prestasinya, karena kepandaiannya, atau kecerdasaannya, kalaupun ada porsinya masih sangat kecil. memang ini sumbangsih konstruksi sosial tadi yang melahirkan exploitasi perempuan secara samar. tetapi hal ini juga berawal dari sisi si perempuan sendiri yang senang jika di hargai karena faktor fisiknya, bukan karena potensinya. di sinilah perlu di tanamkan self appreciation, atau penghargaan pada diri sendiri, bahwa perempuan di ciptakan bukan sebagai ‘magnet pemikat’ yang suka di ekpolitasi bagian2 fisiknya tetapi perempuan juga harus menghargai dirinya sebagai aset berharga bagi peradaban dunia ini dengan kemampuannya potensinya dan prestasinya.

4. Rekonstruksi makna “Emansipasi”
emansipasi saat ini telah menjadi term favorit bagi perempuan. bahkan segala hal yang terkesan ‘nyeleneh’ yang di lakukan kaum perempuan hanya cukup di jawab dengan kata emansipasi, seperti “ini emansipasi Loh..!!” sehingga term ini seakan menjadi benteng bagi kebebasan perempuan dalam menisbatkan segala tuntutan kesetaraan yang sering kali berlebihan. term ini sudah lama merasuk jiwa perempuan yang merasa dirinya terbelenggu dalam keterbatasan, sehingga tidak mungkin untuk di hilangkan. namun makna ini perlu di ‘rekonstruksi’.
emansipasi harus di maknai sebagai usaha untuk memaksimalkan potensi perempuan yang merupakan bagian dari khalifah di bumi ini seperti halnya laki-laki tanpa harus menanggalkan fitrah yang telah di berikan Allah kepadanya.

perempuan bisa jadi peneliti, politisi, akademisi, tanpa harus melepas tanggung jawab kediriannya sebagai ‘perempuan’, seperti menjadi ibu rumah tangga atau pendamping setia untuk perkembangan anak-anaknya. jika ini di anggap sebagai double burden maka perlu di pertanyakan seperti apa perempuan ingin di akui eksistensinya, apakah harus bertukar posisi, lelaki yang mengandung dan melahirkan? tentu mustahil. artinya perempuan juga harus proporsional, konsisten dan bertanggung jawab dengan pilihannya.

di muat di www.warnaislam.com

“Antara Caleg dan Cover Boy”

Caleg dan Cover boy. Sekilas dua istilah ini tampak hampir tidak ada hubungannya, caleg berhubungan dengan dunia politik dan cover boy berhubungan dengan dunia entertain. tapi jangan salah jika saat ini dua jabatan ini bisa berhubungan erat, tidak hanya karena banyak mantan cover boy/ girl yang kini ‘banting stir’ mencalonkan diri jadi caleg tetapi ternyata para caleg pun sekarang ini meniru gaya kampanyenya cover boy/girl. ;)

Lihat saja di sepanjang jalan khususnya ibukota Jakarta tercinta ini yang penuh sesak dengan poster2 atau gambar2 caleg yang mengiklankan dirinya dari mulai pamflet sampai baliho yang super besarpun tak ragu-ragu lagi di pasang demi ‘menjual’ nama si caleg.

Hal ini tampaknya mirip dengan kampanye pemilihan cover boy/girl yang memang mengutamakan sisi physical performance – jadi wajar klo kampanye mereka pasti majang foto super bagus. bedanya kalau poster Caleg hanya di tambah dengan kata-kata ‘rayuan’ di bawah atau di samping foto caleg tersebut seperti: jujur, amanah, peduli, memperjuangkan rakyat dsb.

Padahal rakyat memilih caleg tentu bukan karena tampangnya. mau ganteng, cantik, tampan atau biasa saja bukan masalah asalkan bisa membawa aspirasi rakyat. maka jika di analogikan dalam dunia marketing, strategi marketing para Caleg ini bisa di bilang kurang tepat. karena produk yang di butuhkan dan iklan yang di pajang tidak Matching. Tidak seperti ajang pemilihan Cover boy dimana titik berat penilaian adalah penampilan fisik, dalam ajang pemilihan caleg yang di butuhkan masyarakat sesungguhnya adalah program konkrit mereka bukan tampang dan kata-kata manis yang sering kali hanya lip service saja.

Memang ada juga ajang promosi melalui debat caleg yang di selenggarakan beberapa media masa seperti TV dan radio namun jumlah caleg yang berpartisipasi dalam acara itu tidak seberapa bahkan mungkin tidak sampai 20% nya. Dan beberapa kali saya mengikuti acara tersebut ternyata banyak caleg yang masih dalam tataran ‘klise’ dalam menjawab pertanyaan panelis tentang program-program yang di agendakan jika mereka terpilih. tidak tahu apakah hal ini karena caleg tersebut mengalami stage fever atau memang belum merumuskan secara pasti agenda program jika terpilih nanti.

Rasanya rakyat sudah bosan dengan berbagai janji-janji yang selalu di berikan oleh para caleg ataupun partai politik tiap kali kampanye menjelang pemilihan. Tak bijak jika ‘pembodohan publik’ ini di biarkan terlalu lama berlangsung dan sudah saatnya di akhiri dengan ‘pencerdasan publik’ dalam kampanye.

Kita memerlukan konsep kampanye yang ‘cerdas’, misalnya dengan memasarkan agenda program aplikatif para caleg secara singkat [disamping nama dan gambar seperlunya] sehingga rakyat bisa menilai dan memilih sesuai dengan program yang di agendakan bukan dari tampang yang di paparkan. Karena banyak dari rakyat yang sama sekali tidak tahu siapa mereka (caleg), tapi setidaknya rakyat butuh gambaran ‘tindakan’ yang akan mereka lakukan jika terpilih. dan sekali lagi rakyat tidak sedang memilih calon-calon cover boy/girl yang hanya bisa kami dinilai dari tampilan fisiknya.

di muat di http://www.warnaislam.com/