Jumat, 20 Maret 2009

“Ex - Activist”

Selama beberapa bulan ini aku merasa telah jauh dari berbagai aktivitas yang dulu aku geluti. belajar, berorganisasi, menjadi mentor. hanya sedikit saja dari kegiatan itu yang masih rutin aku jalani. dan hari ini aku merasa begitu merindukan berbagai aktivitas itu. aktivitas yang memberiku gelar seorang ‘aktivis’ namun saat ini harus bertambah satu kata di depannya “mantan” hingga menjadi ‘Mantan aktivis’ :)

***
Menikah, menjadi seorang istri telah memberikan aku tugas mulia baru yaitu mengurus Rumah Tangga. banyak struktur manajemen pribadi yang harus berubah di masa transisi dari single menjadi married women itu dan itulah salah satu ‘resiko’ menikah. selain berbagai keindahan menggoda, di sana banyak tanggung jawab yang tidak bisa di abaikan karena bagaimanapun Keluarga adalah the first priority, tentu banyak orang setuju dengan hal ini.

kembali kepada pribadiku sebelum dengan sesudah menikah, mau tidak mau harus ada yang berubah bukan hanya dari gelar Ms. menjadi Mrs, tetapi lebih jauh dari itu berbagai manajemen pribadi, mulai dari schedule, aktivitas, karakter dan habitpun tampaknya harus menyesuaikan dengan penghuni baru yang masuk dalam kehidupanku. dalam bahasa jawa suami-istri si sebut garwo [sigaraning nyowo] atau dalam bahasa kerennya soulmate – belahan jiwa. sehingga belahan jiwa yang satu harus mengimbangi belahan yang lain agar terjadi balancing atau keseimbangan. inilah pelajaran terpenting dalam pernikahan yaitu Tanggung Jawab, salah satunya adalah tanggung jawab menjaga keseimbangan tadi.

pernikahan juga ternyata sekolah yang menerapkan ujian terberat dalam mata pelajaran ‘pengertian’. dalam mata pelajaran pengertian ini yang di nilai adalah ujian praktikum “bagaimana memenej egoisme pribadi’. Dalam rumah tangga kita tidak bisa seenaknya bilang “ini mau gue’, terserah mau loe” seperti ketika kita masih sendiri semua keputusan atau tindakan dalam rumah bisa “semau gue” maka dalam RT segala hal harus mendapat agreement dari pasangan masing-masing agar kelak tidak terjadi konflik. maka “memahami” adalah pelajaran kedua setelah mengerti.

sering kali aku bertanya-tanya ketika suami melakukan hal yang tidak cocok dalam pandanganku, atau tindakan yang menurutku tidak ideal sehingga dalam hati aku mengkritisi, mengapa dia begini, mengapa dia begitu, dsb dan diam, kecewa ternyata tidak bisa menjadi solusi dalam hal ini. jalan keluarnya adalah menemukan jawaban“mengapa dia begini?”. jawabannya hanya akan aku dapat dari komunikasi. dan jawaban inilah yang akan menjadi premis-premis yang aku susun untuk menjadi sebuah rumus dalam pelajaran selanjutnya - “memahami”.

dari komunikasi hal-hal yang tampaknya rancu dalam pandanganku jadi terjawab yang akhirnya aku harus berkata “oh begitu toh” atau “oh memang dia begitu” atau “that’s part of him”.

Kawan banyak hal baru yang aku temui dan aku pelajari dalam ‘sekolah’ baruku – pernikahan - ini, begitu indah, menggoda, namun juga penuh tantangan. satu hal yang pasti adalah di butuhkan pengorbanan. pengorbanan pertama ku tentu menyerah dengan gelar “mantan aktivis” tadi. karena ini konsekwensi dari sebuah pilihan. terkadang aku juga merasa begitu kehilangan dengan aktivitas2 ku tapi di sisi lain aku begitu bahagia dan menikmati peran baruku.

Dan ternyata pelajaran terpenting lainnya bahwa dalam Rumah Tangga tidak bisa aku menerapkan sikap otoriterku “pokoknya aku harus begini”, atau “aku mau kamu begini”- yang selama ini sering menjadi Pattern idealisme ku. inilah pengorbanan kedua ku ‘negoisasi idealisme’.

dan Kawan pilihan2 di atas bukan semata-mata kediktaroran suamiku, tetapi keputusan sesadar-sadarnya dari dalam diriku sendiri. suamiku tidak pernah melarang aku untuk tetap active di berbagai aktivitasku bahkan kadang ia rela menggantikan tugasku. tetapi tentu saja aku harus bersikap adil dan proporsional dengan tugas dan tanggung jawabku.

dan aku bersyukur suamiku cukup memahami jiwaku yang “liar” ini, sehingga beliau tetap memberikan aku ‘kebebasan’ untuk memilih. dan menjadi ‘mantan aktivis’ adalah keputusanku untuk lebih maksimal dalam masa transisi ini.

InsyaAllah ada saatnya nanti aku akan kembali berkiprah di dunia“keaktivisanku” . ;)

“Stage Fever”

Dua minggu yang lalu Diskusi mingguan Britzone di pandu oleh Mbak Yuke, salah seorang manager program dari ANTV. beliau membawakan tema “Be a good reporter”. seperti biasa dalam klub bahwa aspek Speaking practice yang di utamakan, maka tema ini menjadi sangat menarik dan berkali mendapat pujian dari peserta juga Mr. Arief – Independent Observer of BZ. teknisnya, acara ini menampilkan partisipan dalam format couple – interviewer dan interviewee – dengan memberikan beberapa opsi tema mulai dari politik, sosial, kesehatan dan entertain, juga peserta di beri opsi-opsi tokoh yang bisa di pilih untuk di perankan atau di interview.

di acara itu Mbak Yuke memberikan beberapa tips untuk menjadi seorang reporter yang baik diantaranya adalah menggali informasi sebanyak-banyaknya tentang orang yang akan di interview [the interviewee], bersikap netral, tidak memojokkan, dan tidak menghakimi dan tentunya tetap kritis tetapi santun. acara ini juga di sambut dengan berbagai pertanyaan dari peserta, pertanyaan mayoritas adalah bagaimana jika dalam interview kita di hacking down atau di pojokkan, Mbak Yuke mengatakan bahwa kita [the interviewee] berhak untuk tidak menjawab pertanyaan tersebut dengan mengatakan ‘no comment” atau “this’s privacy’ dsb.

akupun sangat exciting dengan acara ini, karena mengingatkan aku dengan mata kuliah Broadcasting yang pernah aku pelajari waktu kuliah D3 dulu. dosenku pak Daulat Pane adalah penyiar Voice of Indonesia [VOI] di RRI. aku sangat suka gaya mengajar pak pane yang creative juga ‘pronounciation’ nya yang bagus sehingga sangat enak di dengar, ternyata itulah modal utama menjadi seorang English newscaster kawan. di mata kuliah broad casting aku pernah belajar menjadi reporter, moderator talk show, MC, English newscaster juga teknik-tehnik penulisan berita, sayangnya aku tak menghayati mata kuliah ini dan terasa hanya sepintas lalu, padahal ini sangat menarik bukan? ;).

menjadi moderator dalam talk show hanya satu yang bisa sukses aku kerjakan. sedangkan tugas lain seperti newscaster, reporter selalu tidak bisa aku kerjakan dengan baik karena aspek nervousnessku yang membuatku sering mengalami Slipped tongue ketika berhadapan langsung dengan banyak audience, inilah satu sisi lagi kekuranganku kawan.

dan dari acara2 di BZ aku jadi menyadari bahwa ternyata penyakit “Stage Fever”ku ini belum juga sembuh, penyakit ini sering membuat ku Getting Blank atau mengalami kesalahan2 dalam pronunciations saat sedang berbicara. padalah aspek ini sangat penting dalam English public speaking .

ternyata memang benar kata Ali Obama, banyak orang bisa berbicara dengan lancar tetapi hanya sedikit yang bisa berbicara dengan lancar di depan umum atau di depan orang banyak karena itulah perlu latihan atau pembiasaan. Alhamdulillah saat ini Britzone sedang mengalami banyak kemajuan dalam hal metode diskusi yang memang lebih di fokuskan ke Speaking Skill, termasuk Public Speaking, semoga dengan belajar di BZ aku bisa menyembuhkan penyakit ‘Stage Fever” ku. 

“Negoisasi Idealisme”

“cobalah melihat sesuatu dari sisi lain dek, jangan hanya melihat sesuatu dengan kaca mata kita sendiri” itulah nasehat suami saya suatu ketika dalam sebuah diskusi . sesaat sifat ‘ngeyel’ saya masih tidak terima dengan statement itu, dan saya masih ngotot mempertahankan pendapat saya bahwa pandangan saya benar, bahwa metode saya benar, bahwa teori saya benar, bahkan jika di uji dengan metode Bacon (hehe J)

tetapi berselang waktu, kata itu sering terngiang di di telinga saya, mungkin sudah sering saya mendengar kalimat ini dengan redaksi yang berbeda, tetapi baru kali ini saya merasa bahwa kalimat ini cukup make sense untuk diri saya yang idealist hingga cenderung egois - melihat sesuatu hanya dari cara saya memandang – dalam menghakimi sesuatu.

saya tipe orang yang idealist, yang ingin melihat sesuatu ‘sempurna’ seperti yang saya inginkan, meski sering kali akhirnya saya menyerah juga dengan ‘takdir’ tetapi kekecewaan kerap mewarnai sebelum saya sampai ketitik pasrah.

begitu juga dalam hal pendapat, saya sering menganggap orang lain mempunyai cara pandang yang sama dengan saya, sehingga sering kali tanpa sadar dalam hati saya menghakimi, pendapat dia salah – hanya karena tidak sesuai dengan pendapat saya

hal ini mulai saya banyak sadari setelah saya menikah, sedikit banyak suami saya mengingatkan hal ini. saya sering berdiskusi tentang berbagai hal dengan suami, dari diskusi itulah sering suami saya men-track Idealisme ‘tidak sehat‘saya dalam berdiskusi.

awalnya saya cukup kesal ketika diingatkan tetapi lama-lama saya mulai menyadari bahwa suami saya benar dan saya perlu ‘negoisasi idealisme’ dalam sebuah dialektika, baik itu dalam Rumah Tangga atau lebih besarnya dalam konteks hubungan interpersonal dalam masyarakat.

Negoisasi Idealisme ini [ini istilah saya sendiri] bukan berarti saya harus Inferior atau ikut-ikutan dengan pendapat orang lain, tetapi Negoisasi disini lebih saya artikan untuk berusaha memahami dan mengerti pendapat lawan bicara saya secara obyektive dalam berdiskusi atau berdialog. sehingga akan tercipta diskusi yang lebih sehat dan menghindari diskusi yang berakhir dengan debat kusir.

dari “negoisasi idealisme’ itu saya mulai menemukan benang merah dalam perbedaan pandangan saya dan suami saya, sehingga pertengkaran bisa kami hindari. dan saya juga lebih bisa belajar bagaimana memandang sesuatu masalah dari cara pandang orang lain, sehingga saya tidak terjebak dalam sifat subyektif berlebihan dalam menilai sesuatu masalah juga saya lebih bisa menghargai pendapat orang lain.

Stephen R Covey dalam buku termasyurnya “Seven Habits Of Highly Effective People merekomendasikan sebuah teori untuk mengedepankan to Understand dari pada to be understood. artinya kita harus dulu memahami orang lain jika ingin di fahami. tentu saja ini cukup relevant untuk mendukung teori baru saya “negoisasi Idelalisme” dalam berdiskusi. :)


dimuat di
www.warnaislam.com

Jumat, 13 Maret 2009

“First Sharing in March”

Suatu hari belum lama ini aku seperti merasa menjadi orang yang paling tak bersyukur. tiba-tiba saja hati terasa sedih, merana dengan mata berkaca-kaca persis seperti acting seorang aktris di film India yang sedang patah hati. :)

kau tahu apa sebabnya kawan? saat itu aku chating dengan salah satu temanku. teman ini bisa di bilang selalu di ikuti Dewi Fortuna setidaknya itulah pandangan ku, meski tentu dia juga punya cara pandang berbeda, mungkin juga pernah merasa orang lain lebih beruntung dari dia.

temanku ini anak orang yang cukup berada, dia bisa kuliah S1 di luar negeri, dan S2 di universitas ternama di jakarta. baru beberapa bulan kuliah dia ingin mengisi waktu luang mencari pekerjaan sampingan dan langsung dapat di institusi ternama juga.

sekilas realita yang aku alami seperti kebalikan dari dia. untuk selesai S1 saja aku harus tunggang langgang berjuang mencari biaya, itupun aku tetap tak mampu kuliah di universitas yang punya ‘nama’, juga di jurusan pilihanku. dan untuk mencari pekerjaan dari awal aku bekerja semua perlu perjuangan ‘berat’ untuk mendapatkannya.

sesaat aku masih terjebak dengan rasa ‘iri’ itu. rasa ingin mendapatkan seperti orang lain dapatkan.

detik yang lain aku ingin mengutuki diriku, dengan apa yang ku rasakan sebelumnya. mungkin benar bahwa temanku itu mendapat banyak kemudahan, tetapi bukan berarti dia tidak pernah mempunyai kesulitan. mungkin aku masih bisa ngeyel kesulitan dia tak seberapa di banding aku. argument yang tak lebih dari sebuah ‘aksioma’. argumenku juga mengesampingkan factor yang “maha pengatur” di jagat raya ini. bahwa sesuatu di berikan di berikan terukur dengan kemampuan kita. bahwa semua kejadian adalah ‘smart design’ yang telah di atur dengan sedemikian detil.

aku ingat sebuah nasihat bahwa setiap manusia di ciptakan dengan jalan dan rezki yang berbeda-beda. meski dengan begitu bukan berarti Tuhan dzalim dengan mambiarkan seorang dengan ‘enak’ nya dan seorang lain dengan kesusahan berketerusannya. bagaimanapun kita tetap di beri pilihan, pilihan untuk bahagia atau menderita. pilihan untuk survive atau putus asa. itulah pilihan hakiki dalam hidup kita yang harus kita pilih. dan harta, kekuasaan , jabatan tidak selalu identik dengan kebahagiaan, demikian juga sebaliknya kekurangan harta juga tidak selalu identik dengan penderitaan. meski keduanya tampak sebagai ‘sarana’ untuk bahagia atau menderita, tetapi sejatinya diri kitalah yang lebih menentukan. presepsi, cara pandang dan sikap kita menghadapi realita itulah yang menentukan bagaimana kita menikmati hidup.

detik berikutnya aku tampar sendiri wajahku dengan bayangan realita yang sering aku saksikan setiap hari. betapa banyak anak-anak kecil bertelanjang kaki yang menyususri jalanan ibu kota untuk sesuap nasi. melompat dari bus satu ke bus yang lain, berdiri dari mobil yang satu ke mobil yang lain menawarkan jasa untuk membersihkan kaca mobil atau sekedar menunggu uang receh. betapa banyak anak-anak yang harus membiayai sekolahnya dengan mengabdikan diri sebagai pemulung, dan berapa banyak mereka yang harus tidur di kolong jembatan dan..dan…dan banyak lagi

beberapa hari berikutnya aku melihat Film ”Children of Heaven” di salah satu station TV swasta. kau pasti tahu kawan bagaimana menyentuh kisah di film ini. sebuah renungan tentang ketulusan, kesabaran dan pengorbanan di tengah himpitan kemiskinan yang di ajarkan oleh dua bocah kecil sebagai pemeran utama di film ini. aku tak kuasa menahan air mataku.

Di bawah sana masih banyak sekali orang-orang yang ‘kurang beruntung’ tetapi masih sangat pandai mensyukuri apa yang di milikinya…
Ach betapa tak bersyukurnya aku :(