Jumat, 20 Maret 2009

“Negoisasi Idealisme”

“cobalah melihat sesuatu dari sisi lain dek, jangan hanya melihat sesuatu dengan kaca mata kita sendiri” itulah nasehat suami saya suatu ketika dalam sebuah diskusi . sesaat sifat ‘ngeyel’ saya masih tidak terima dengan statement itu, dan saya masih ngotot mempertahankan pendapat saya bahwa pandangan saya benar, bahwa metode saya benar, bahwa teori saya benar, bahkan jika di uji dengan metode Bacon (hehe J)

tetapi berselang waktu, kata itu sering terngiang di di telinga saya, mungkin sudah sering saya mendengar kalimat ini dengan redaksi yang berbeda, tetapi baru kali ini saya merasa bahwa kalimat ini cukup make sense untuk diri saya yang idealist hingga cenderung egois - melihat sesuatu hanya dari cara saya memandang – dalam menghakimi sesuatu.

saya tipe orang yang idealist, yang ingin melihat sesuatu ‘sempurna’ seperti yang saya inginkan, meski sering kali akhirnya saya menyerah juga dengan ‘takdir’ tetapi kekecewaan kerap mewarnai sebelum saya sampai ketitik pasrah.

begitu juga dalam hal pendapat, saya sering menganggap orang lain mempunyai cara pandang yang sama dengan saya, sehingga sering kali tanpa sadar dalam hati saya menghakimi, pendapat dia salah – hanya karena tidak sesuai dengan pendapat saya

hal ini mulai saya banyak sadari setelah saya menikah, sedikit banyak suami saya mengingatkan hal ini. saya sering berdiskusi tentang berbagai hal dengan suami, dari diskusi itulah sering suami saya men-track Idealisme ‘tidak sehat‘saya dalam berdiskusi.

awalnya saya cukup kesal ketika diingatkan tetapi lama-lama saya mulai menyadari bahwa suami saya benar dan saya perlu ‘negoisasi idealisme’ dalam sebuah dialektika, baik itu dalam Rumah Tangga atau lebih besarnya dalam konteks hubungan interpersonal dalam masyarakat.

Negoisasi Idealisme ini [ini istilah saya sendiri] bukan berarti saya harus Inferior atau ikut-ikutan dengan pendapat orang lain, tetapi Negoisasi disini lebih saya artikan untuk berusaha memahami dan mengerti pendapat lawan bicara saya secara obyektive dalam berdiskusi atau berdialog. sehingga akan tercipta diskusi yang lebih sehat dan menghindari diskusi yang berakhir dengan debat kusir.

dari “negoisasi idealisme’ itu saya mulai menemukan benang merah dalam perbedaan pandangan saya dan suami saya, sehingga pertengkaran bisa kami hindari. dan saya juga lebih bisa belajar bagaimana memandang sesuatu masalah dari cara pandang orang lain, sehingga saya tidak terjebak dalam sifat subyektif berlebihan dalam menilai sesuatu masalah juga saya lebih bisa menghargai pendapat orang lain.

Stephen R Covey dalam buku termasyurnya “Seven Habits Of Highly Effective People merekomendasikan sebuah teori untuk mengedepankan to Understand dari pada to be understood. artinya kita harus dulu memahami orang lain jika ingin di fahami. tentu saja ini cukup relevant untuk mendukung teori baru saya “negoisasi Idelalisme” dalam berdiskusi. :)


dimuat di
www.warnaislam.com

Tidak ada komentar: