***
Sampai detik ini term “diskriminasi” tampaknya masih menjadi term paling popular dalam isu kesetaraan gender. sejatinya perbedaan dua kutub lelaki dan perempuan sudah menjadi perdebatan sejak berabad-abad lalu. dan selama ini, sejarah peradaban perempuan memang dihadapkan pada dua realitas yang sangat kontras. realitas pertama adalah keterasingan perempuan dari pentas existensinya yang dapat kita lihat dalam sejarah di berbagai belahan bumi dan yang terparah adalah di zaman Jahiliah, dimana perempuan tidak punya hak sama sekali, baik hak suara, hak waris bahkan hak untuk hidup, sedang realitas kedua adalah realitas liberal dan permisif (serba boleh) dimana perempuan diberi kebebasan sebebas-bebasnya.
memang fakta bahwa sampai sekarangpun masih banyak perempuan yang terjajah secara intelektual dan secara kultural. sebagian besar perempuan indonesia khususnya, masih sulit untuk memperoleh pendidikan, bukan hanya karena faktor ekonomi tetapi juga konstruk sosial yang masih melekat di masyarakat bahwa perempuan adalah makhluk domestik yang tak lepas dari tugas DSP (Dapur, Sumur, Kasur) sehingga pendidikan di anggap tidak begitu penting bagi perempuan.
kondisi ini juga yang kemudian memunculkan opini baru yang berkembang di masyarakat. satu opini ‘extrem’ tentang emansipasi yang menganggap perempuan yang bekerja di rumah adalah inferior, sekunder dan marginal sehingga ‘mewajibkan’ perempuan untuk berperan aktive di public sphere. menurut saya ini adalah konsep ‘emansipasi’ yang berlebihan.
1. Self awareness
penghargaan pada perempuan harus di mulai dari kesadaran pada diri perempuan itu sendiri, hal ini harus di mulai dari kesadaran perempuan akan pentingnya eksitensi dirinya, bahwa keberadaan perempuan adalah organ yang vital dalam sirkulasi kehidupan di bumi ini. karena dari rahim perempuan lahir tokoh2 pembangun dunia, juga dari rahim perempuan bisa lahir tokoh penghancur dunia, perempuan adalah makhluk yang menempati posisi paling stategis dalam pembentukan generasi di bumi ini. dengan kesadaran ini maka perempuan akan merasa sangat berarti keberadaannya terlepas dari peran apapun yang di jalaninya. disini juga perlu konstruksi pemahaman peran, bahwa peran alami yang di berikan kepada perempuan sebagai ibu rumah tangga bukan lah peran yang inferior tapi justru peran yang signifikan.
2. Self empowerment
pemberdayaan ini pertama2 harus di sentuh dari segi pendidikan (dalam konteks pendidikan yang tidak dikotomis). setelah menyadari keberadaannya maka perempuan mulai menyadari tugasnya dan mulai menyusun strategi untuk melaksanakan tugas tsb. karena itu menurutku pendidikan perempuan sangat lah penting bukan dalam rangka ingin ‘merebut’ posisi laki-laki di berbagai bidang tapi justru untuk memantapkan peran strategisnya yang utama sebagai seorang generation creator, first educator, sampai menjadi pillar of Nation. dengan pendidikan juga akan menaikkan posisi tawar (bargaining power) perempuan dalam rangka mendekonstruksi stigma ‘ketidak berdayaan’ perempuan.
3. Self Appreciaton
hal ini penting, karena sering kali perempuan justru mendekonstruksi kediriannya dengan caranya menghargai dirinya. saat ini ketika bicara tentang perempuan, tidak akan pernah jauh dari hal2 yang bersifat kebenda’an, seperti penampian fisik, kecantikan, etc. lihat saja majalah, koran, atau media elektronik, hampir setiap detik setiap waktu akan di hiasi oleh wajah cantik perempuan dengan berbagai style yang sebagian besar berhubungan dengan entairtainment, atau advertisement yang mengagungkan fisik perempuan. di media jarang sekali perempuan di tampilkan karena prestasinya, karena kepandaiannya, atau kecerdasaannya, kalaupun ada porsinya masih sangat kecil. memang ini sumbangsih konstruksi sosial tadi yang melahirkan exploitasi perempuan secara samar. tetapi hal ini juga berawal dari sisi si perempuan sendiri yang senang jika di hargai karena faktor fisiknya, bukan karena potensinya. di sinilah perlu di tanamkan self appreciation, atau penghargaan pada diri sendiri, bahwa perempuan di ciptakan bukan sebagai ‘magnet pemikat’ yang suka di ekpolitasi bagian2 fisiknya tetapi perempuan juga harus menghargai dirinya sebagai aset berharga bagi peradaban dunia ini dengan kemampuannya potensinya dan prestasinya.
4. Rekonstruksi makna “Emansipasi”
emansipasi saat ini telah menjadi term favorit bagi perempuan. bahkan segala hal yang terkesan ‘nyeleneh’ yang di lakukan kaum perempuan hanya cukup di jawab dengan kata emansipasi, seperti “ini emansipasi Loh..!!” sehingga term ini seakan menjadi benteng bagi kebebasan perempuan dalam menisbatkan segala tuntutan kesetaraan yang sering kali berlebihan. term ini sudah lama merasuk jiwa perempuan yang merasa dirinya terbelenggu dalam keterbatasan, sehingga tidak mungkin untuk di hilangkan. namun makna ini perlu di ‘rekonstruksi’.
perempuan bisa jadi peneliti, politisi, akademisi, tanpa harus melepas tanggung jawab kediriannya sebagai ‘perempuan’, seperti menjadi ibu rumah tangga atau pendamping setia untuk perkembangan anak-anaknya. jika ini di anggap sebagai double burden maka perlu di pertanyakan seperti apa perempuan ingin di akui eksistensinya, apakah harus bertukar posisi, lelaki yang mengandung dan melahirkan? tentu mustahil. artinya perempuan juga harus proporsional, konsisten dan bertanggung jawab dengan pilihannya.
di muat di www.warnaislam.com