Jumat, 13 Maret 2009

“First Sharing in March”

Suatu hari belum lama ini aku seperti merasa menjadi orang yang paling tak bersyukur. tiba-tiba saja hati terasa sedih, merana dengan mata berkaca-kaca persis seperti acting seorang aktris di film India yang sedang patah hati. :)

kau tahu apa sebabnya kawan? saat itu aku chating dengan salah satu temanku. teman ini bisa di bilang selalu di ikuti Dewi Fortuna setidaknya itulah pandangan ku, meski tentu dia juga punya cara pandang berbeda, mungkin juga pernah merasa orang lain lebih beruntung dari dia.

temanku ini anak orang yang cukup berada, dia bisa kuliah S1 di luar negeri, dan S2 di universitas ternama di jakarta. baru beberapa bulan kuliah dia ingin mengisi waktu luang mencari pekerjaan sampingan dan langsung dapat di institusi ternama juga.

sekilas realita yang aku alami seperti kebalikan dari dia. untuk selesai S1 saja aku harus tunggang langgang berjuang mencari biaya, itupun aku tetap tak mampu kuliah di universitas yang punya ‘nama’, juga di jurusan pilihanku. dan untuk mencari pekerjaan dari awal aku bekerja semua perlu perjuangan ‘berat’ untuk mendapatkannya.

sesaat aku masih terjebak dengan rasa ‘iri’ itu. rasa ingin mendapatkan seperti orang lain dapatkan.

detik yang lain aku ingin mengutuki diriku, dengan apa yang ku rasakan sebelumnya. mungkin benar bahwa temanku itu mendapat banyak kemudahan, tetapi bukan berarti dia tidak pernah mempunyai kesulitan. mungkin aku masih bisa ngeyel kesulitan dia tak seberapa di banding aku. argument yang tak lebih dari sebuah ‘aksioma’. argumenku juga mengesampingkan factor yang “maha pengatur” di jagat raya ini. bahwa sesuatu di berikan di berikan terukur dengan kemampuan kita. bahwa semua kejadian adalah ‘smart design’ yang telah di atur dengan sedemikian detil.

aku ingat sebuah nasihat bahwa setiap manusia di ciptakan dengan jalan dan rezki yang berbeda-beda. meski dengan begitu bukan berarti Tuhan dzalim dengan mambiarkan seorang dengan ‘enak’ nya dan seorang lain dengan kesusahan berketerusannya. bagaimanapun kita tetap di beri pilihan, pilihan untuk bahagia atau menderita. pilihan untuk survive atau putus asa. itulah pilihan hakiki dalam hidup kita yang harus kita pilih. dan harta, kekuasaan , jabatan tidak selalu identik dengan kebahagiaan, demikian juga sebaliknya kekurangan harta juga tidak selalu identik dengan penderitaan. meski keduanya tampak sebagai ‘sarana’ untuk bahagia atau menderita, tetapi sejatinya diri kitalah yang lebih menentukan. presepsi, cara pandang dan sikap kita menghadapi realita itulah yang menentukan bagaimana kita menikmati hidup.

detik berikutnya aku tampar sendiri wajahku dengan bayangan realita yang sering aku saksikan setiap hari. betapa banyak anak-anak kecil bertelanjang kaki yang menyususri jalanan ibu kota untuk sesuap nasi. melompat dari bus satu ke bus yang lain, berdiri dari mobil yang satu ke mobil yang lain menawarkan jasa untuk membersihkan kaca mobil atau sekedar menunggu uang receh. betapa banyak anak-anak yang harus membiayai sekolahnya dengan mengabdikan diri sebagai pemulung, dan berapa banyak mereka yang harus tidur di kolong jembatan dan..dan…dan banyak lagi

beberapa hari berikutnya aku melihat Film ”Children of Heaven” di salah satu station TV swasta. kau pasti tahu kawan bagaimana menyentuh kisah di film ini. sebuah renungan tentang ketulusan, kesabaran dan pengorbanan di tengah himpitan kemiskinan yang di ajarkan oleh dua bocah kecil sebagai pemeran utama di film ini. aku tak kuasa menahan air mataku.

Di bawah sana masih banyak sekali orang-orang yang ‘kurang beruntung’ tetapi masih sangat pandai mensyukuri apa yang di milikinya…
Ach betapa tak bersyukurnya aku :(

Tidak ada komentar: