Kamis, 22 Mei 2008

BLT Vis a Vis Kenaikan BBM

Akhir2 ini berita di berbagai media dipenuhi dengan kabar kenaikan BBM karena kenaikan harga minyak dunia yang kian melambung. keputusan pemerintah ini konon demi menyelamatkan APBN yang bisa jadi deficit dengan anggaran subsidi minyak yang kian tinggi seiring dengan melambungnya harga minyak dunia yang di perkirakan mencapai 10% sehingga pemerintah berkeputusan untuk mencabut subsidi BBM, dana subsidi yang di kurangi akibat kenaikan tersebut sebesar Rp 34,5 triliun. Dari jumlah itu, Rp 18,15 triliun akan dialokasikan untuk bantuan langsung tunai (BLT) bagi 19,1 warga miskin.

Di Jakarta, Kamis (15/5), Kepala Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan, Anggito Abimanyu mengatakan selain untuk BLT dan bantuan pangan (BLT Plus), dana subsidi dari kenaikan harga BBM juga akan dialokasikan untuk cadangan risiko fiskal sebesar Rp 15,2 triliun. Begitu pula untuk bantuan kredit usaha rakyat sebesar Rp 1 triliun dan public service obligations seperti angkutan kereta api sebesar 0,15 triliun. (Metrotv News)

dari uraian di atas sebagian besar dana penarikan subsidi itu akan di alokasikan untuk BLT yang sudah berjalan sedangkan program yang lain masih di atas perencanaan. artinya BLT adalah suatu opsi terdepan bagi pemerintah untuk mengantisipasi melonjaknya angka kemiskinan di negeri ini. dengan presumptive bahwa imbas pencabutan subsidi BBM bagi masyarakat bawah bisa ditanggulangi dengan menggantikan dengan program2 di atas juga asumsi bahwa subsidi BBM tidak tepat sasaran karena banyak di berikan justru untuk kalangan menengah di atas. pertanyaannya effective kah program Major pemerintah dalam menghadapi lonjakan harga BBM ini dengan memberikan BLT Plus kepada masyarakat Miskin? mengingat data Orang miskin yang di pakai adalah data tahun 2005 belum lagi data tingkat kemiskinan pun masih simpang siur karena data yang di hasilkan BPS (biro Pusat Statistik) - satu-satunya lembaga yang melakukan pendataan - sering kontradiktive dengan realita di lapangan. juga standarisasi kemiskinan yang sangat rendah. sebagai contoh standarisasi yang di pakai Bapennas. Staf Ahli Meneg PPN/ Kepala Bappenas bidang Sumber Daya Manusia dan Kemiskinan Bambang Widianto mengatakan pemerintah menggunakan definisi penduduk miskin menurut MDGs (millennium development goals) yakni masyarakat berpenghasilan di bawah US$1 per hari, ini hanya separoh dari Standarisasi Bank Dunia yaitu US$2 Perhari. (Jurnal ekonomi 25 Des 2007). di samping itu Kebijakan pemberian BLT menyisakan berbagai argument yang bisa menjadi amunisi kritik masyarakat kepada pemerintah, diantaranya:

BLT Tidak tepat sasaran
BLT ini sudah berlangsung beberapa tahun tetapi tidak bisa di temukan keberhasilan dari program ini, di samping tidak efektive juga sulit untuk meyakinkan bahwa program ini tepat sasaran. karena pemerintah hanya memberikan tugas ini kepada pihak Pemerintah local (setingkat RT/RW) untuk mebagikan kepada warganya, dan faktanya justru banyak keluarga miskin yang harusnya mendapat bantuan ini tetapi tidak dapat dan banyak keluarga yang seharusnya tidak mendapatkan tetapi justru di beri, hal ini di karenakan beberapa hal diantaranya aspek kinship (mengutamakan keluarga terdekat) juga pendataan yang tidak akurat.


BLT tidak future oriented
bantuan BLT ini juga tidak berorientasi jangka panjang, karena pemerintah hanya memberi uang tunai yang akan cepat habis, setelah habis mereka hanya kan menunggu jatah berikutnya, begitu seterusnya. sehingga tidak ada pandangan kedepan harus seperti apa? uang seratus ribu sebulan adalah jumlah yang sangat minim untuk usaha, bahkan untuk membeli beras untuk keperluan sebulan saja sangat pas-pasan. sehingga kebijakan pemerintah ini hanya solusi jangka pendek bantuan ini juga justru memberikan pendidikan yang sama sekali tidak cerdas. sama saja pemerintah mendidik rakyat miskin untuk memiliki mental pengemis. minta di kasih setelah habis minta lagi dan seterusknya, begitulah rantai perjalanan bantuan ini.

BLT bukan solusi.
bisa di bilang bantuan ini hampir tidak bisa di jadikan bahkan hanya salah satu dari solusi kemiskinan yang begitu pelik di negeri ini. dengan memberi uang tunai dan membiarkan rakyat tetap hidup tanpa mata pencaharian yang tetap bahkan tanpa pekerjaan sama saja memberi kan candu yang suatu saat akan menyebabkan ‘kesakauan’. juga membiarkan rakyat hanya mampu mengisi perutnya yang kosong dengan mengabaikan hal-hal lain seperti sanitasi, pendidikan, dan infrastruktur yang lain bisa menjadi upaya pembunuhan yang sistemastis. hal ini tentu bisa di buktikan dengan premis yang sederhana jika menilik keadaan rakyat miskin yang hidup di wilayah2 yang jauh dari kata hygienis.

anggaran BLT plus yang akan di berikan kepada masyaratakat miskin selama setahun di perkirakan mencapai 24 triliun rupiah. sebenernya dengan uang itu banyak hal yang bisa di lakukan pemerintah untuk membantu masyaratkan. membantu plus memberdayakan dan mendidik mental pekerja untuk mereka. misalnya jika uang ini di gunakan untuk membangun infrastruktur di desa yang bisa memperkerjakan masyarakat ini yang digaji dengan profesional. dalam hal ini masyarakat mendapat dua keuntungan yaitu uang gaji berkerja untuk kebutuhan sehari-hari dan juga bisa menikmati infrastruktur desa nantinya. paling tidak ketika uang bantuan itu terhenti masyarakat masih bisa menikmati infrastruktur yang ada. atau pemerintah gunakan untuk program pemberdayaan masyarakat atau memberdayakan lahan2 kosong untuk proyek pertanian dengan mempekerjakan mereka ini dengan hitungan gaji yang profesional. atau bisa dengan memberikan bantuan Usaha kecil menengah kepada mereka dengan lebih dulu memberikan penyusuluhan untuk kewirausahaan, juga follow upnya misalnya. atau berbagai proyek lain yang bisa di alokasikan untuk mengatasi kemiskinan mereka ini.

Intinya solusi kemiskinan adalah pekerjaan, bukan uang. jika pemerintah hanya memberi dana bantuan uang atau bahan yang cepat habis tanpa menyisakan continuanity untuk kehidupan selanjutnya maka ini hanyalah ‘obat’ sesaat, sedangkan menciptakan pekerjaan tentu saja adalah solusi yang lebih future oriented, juga menjanjikan perbaikan di berbagai aspek.

Tidak ada komentar: