Selasa, 06 Mei 2008

Ujian Nasional dan Terror Intelektual

Beberapa hari yang lalu adek-adek kita yang duduk di kelas tiga SMU mengikuti Ujian Nasional untuk menentukan hasil belajarnya selama tiga tahun yang lalu. Ujian itu hanya untuk menuai keputusan yang sangat tragis antara lulus atau tidak lulus. Bagi yang lulus berarti sukses dan bisa meneruskan ke jenjang selanjutnya dan bagi yang tidak lulus berarti gagal dan harus mengulang atau putus di tengah jalan. Benarkah Ujian Nasional yang hanya mengujikan tiga mata pelajaran - Matematika, Bahasa Indonesia dan Bahsa Inggris - ini bisa menjadi juri yang adil untuk mementukan kelulusan siswa dari hasil belajarnya selama 3 tahun?

Ujian nasional bahkan lebih cenderung menjadi terror bagi sebagian siswa, betapa tidak? perjuangan nya selama 3 tahun hanya akan di adili dengan waktu 120 menit sementara mata pelajaran dan kegiatan lain seakan tiada guna ketika 3 mata pelajaran saja yang di anggap mampu menampung seluruh isi otak para siswa untuk menentukan kelulusannya. Ironisnya para pelaku pendidikan seperti "menutup mata" pada kekurangan para pendidik atau sistem yang ada. Para pelaku pendidikan juga tidak cermat mengawasi jalannya pendidikan di institusi pendidikan khususnya di daerah yang notabene jauh kualitasnya jika di banding dengan pusat, seakan ‘cuci tangan’ dari kekurangan dan kesalahan yang ada mereka justru menyandarakan seluruh tanggung jawab ketidak lulusan siswa pada sekolah-sekolahnya,dan begitu yakin bahwa ujian Nasional akan menjadi cambuk untuk meningkatkan mutu pendidikan di negeri ini tanpa mengindahkan berbagai hambatan yang di alami siswa yang sering kali tidak melulu kesalahan siswa. Berbagai hal yang di abaikan di antaranya adalah kualitas pendidik, fasilitas pendidikan dan proses pendidikan itu sendiri yang secara langsung akan menjadi basic dari output yang akan di raih oleh siswa.

UN juga sebagai bentuk penyimpangan dari UU pendidikan nasional yang menyatakan bahwa yang berhak menentukan kelulusan Siswa adalah para pendidik di institusi tempat siswa/i tersebut bersekolah.
Seyogyanya pemerintah atau pihak pelaku pendidikan khususnya, (red: depdiknas) tidak meganggap bahwa pendidikan di sekolah-sekolah di seluruh negeri ini mempunyai kualitas yang sama hingga di nilai dengan cara yang sama, Sebuah SMU di Papua misalnya tentu saja jauh berbeda kualitasnya jika di banding dengan SMU 08 Jakarta, kepincangan kualitas ini di tunjang juga oleh kesenjangan ekonomi juga kondisi sosial setempat. anak jakarta misalnya akan sangat biasa sepulang sekolah belajar, mengikuti Les, Bimbel, dsb berbeda dengan anak-anak sekolah di daerah-daerah terpencil yang sepulang sekolah harus membantu orang tuanya di ladang, mencari nafkah dsb. dari sisi fasilitas sekolah juga, tentu beda antara Sekolah N 06 jakarta dengan sekolah negeri yang ada di Jambi atau daerah lainnya. belum lagi kualitas guru, juga sistemisasi dan kurikulum pengajaran di sekolah. secara legal formal mungkin ada kesamaan kurikulum di seluruh indonesia tetapi pada prakteknya sekolah di daerah sering jauh tertinggal dengan sekolah-sekolah di pusat dalam hal kualitas materi pelajaran.

aku sendiri pernah mengalami ketika SMA dulu mengikuti Ebtanas, soal yang ada dalam lembar2 ujian Ebatanas sangat jauh jika di banding dengan apa yang di pelajari di sekolah, bahkan untuk mata pelajaran Eksakta di kelas nilai nyaris tidak pernah kurang dari delapan, tapi di Ebatanas untuk mendapat nilai 4 saja sudah sangat susah. juga dalamhal penilaian di sekolah, guru di beberapa sekolah ada yang "lebih toleran" kepada muridnya, hingga nilai yang sebenarnya rendah bisa "di katrol" karena rasa kasihan atau kedekatan siswa, penilaian pun sering tidak objective, dan sering melibatkan unsur subyektivitas hal ini juga menjadi faktor lain ketidaksiapan siswa menghadapi UN yang di nilai dengan ‘saklek’ oleh DepDikNas. Sehingga Siswa seakan menghadapi "Shocking event" ketika menghadapi Ujian nasional yang standarnya jauh berbeda dengan apa yang pernah ia alami. hal-hal ini yang seharusnya perlu di cermati dan di benahi terlebih dahulu oleh pemerintah sebelum menerapkan peraturan yang terkesan seperti teror ini.

Seharusnya para pembuat kebijakan ini pun ikut menangis bersama ratusan siswa yang gagal dan di nyatakan tidak lulus hanya karena salah satu mata pelajaran yang di ujikan tidak memenuhi standars nilai. Bayu Taruna dari SMAN 71 misalnya, tidak lulus karena nilai matematika nya 4 (standar kelulusan 4.26) padahal nilai bahasa inggrisnya 9.2 dan nilai bahasa Indonesia nya 8.8, Muhammad Al farisi dari SMA Islam PB Sudirman mengalami nasib yang sama dengan bayu nilai UN bahasa Iindonesia 8, bahasa inggris 7.2 dan matematika 4. dan banyak lagi contoh yang lain.

Penilaian dalam Ujian ini juga tidak fair dengan bakat dan potensi para siswa, karena tidak semua orang suka matematika atau bahasa Inggris, bisa jadi sangat berkompeten di satu bidang dan sangat lemah di bidang yang lain, sehingga ini tidak bisa menjadi acuan keberhasilan siswa. Ujian Nasional ini juga bisa di bilang penilaian yang jauh dari standard moralitas, karena tidak ada penilaian dari segi moral siswa bahkan mata pelajaran agama juga tidak termasuk pelajaran yang di ujikan, cermin dari system yang hanya mengandalkan kecerdasan intellectual tanpa memperhatikan kecerdasan spiritual, sungguh system yang praktis sekuler. Hal ini perlu di pertanyakan apakah kualitas generasi ini hanya di ukur dari nilai matematika, bahasa inggris, dan bahasa Indonesia nya saja. Bisa di jawab bahwa ujian ini sudah mencakup test kecerdasan Koqnitive dan motorik tapi sanggupkan merepresentasikan ahlaq dari para siswa??. Padahal dalam UU No.20 th 2003 tentang Pendidikan Nasional di nyatakan sebagai berikut…

bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang;

juga di BAB I tentang ketentuan Umum pasal satu di nyatakan:
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
Dan satu hal yang lebih mencengangkan lagi adalah Ujian Nasional telah menjadi tempat tumbuh kembangnya manipulasi sistematis di tubuh institusí pendidikan. Dengan adanya Ujian Nasional ini guru yang banyak tahu seluk beluk siswa tidak punya hak untuk mementukan kelulusan siswanya, al hasil kekhawatiran pun muncul akan banyaknya siswa yang tidak lulus sehingga Timbul inisiatif untuk memanipulasi ujian ini dengan cara membocorkan soal, mengirimkan jawaban melalui sms, bahkan mengisi lembar jawaban di soal-soal yang belum terjawab, hal ini bisa di bilang tragis mengingat lembaga pendidikan adalah lembaga tempat mencetak generasi harapan negeri ini, lalu hasil seperti apa yang akan di berikan dari praktek manipulasi, korupsi? tapi apa boleh buat guru melakukan semua ini bukan atas kehendak pribadi semata tapi juga rasa tanggung jawab bahkan "teror" dari atasan. Sebagai contoh di Garut Bupati mengancam akan memutasikan kepala sekolah yang kelulusan muridnya di bawah 95% (Republika 17 Mei 2006). Hal ini bisa melahirkan generasi yang tidak lagi menghargai proses dan lebih memilih cara pintas tidak perduli lagi halal-haram, atau benar-salah.

Ujian Nasional dengan standar nilai kelulusan tiap mata pelajaran minimal 4.26 dan rata- rata minimal 4.51 seakan menjadi bom waktu yang harus di jumpai oleh murid, dalam kondisi siap ataupun tidak siap. Mau tidak mau pemerintah harus mengakui bahwa kegagalan siswa dalam Ujian bisa jadi karena mereka "terkondisikan untuk gagal" oleh berbagai kekurangan yang seharusnya lebih dulu di benahi.

Jika pemerintah ingin mengukur potensi siswa boleh saja di adakan Ujian semacam Ujian Nasional ini tapi tidak untuk menentukan lulus atau tidak lulus tapi lebih ke arah penelusuran bakat dan potensi, tentang kelulusan bagaimanapun pihak sekolah yang bertahun-tahun mendidik siswa harus di ikut sertakan dalam menentukan kelulusan siswa, sehingga mata pelajaran yang lain tidak di abaikan juga factor moralitas (manner) dan keaktivan siswa bisa dipertimbangkan. kesimpulannya, masih harus di pertanyakan benarkan UN adalah cara yang tepat untuk meningkatkan Kualitas pendidikan di Negeri ini?

Jakarta 02'05'07

Tidak ada komentar: