Kamis, 16 Oktober 2008

~ Am I a Feminist ?? ~

Beberapa minggu yang lalu saat temanku codri main ke rumah dia melihat ada beberapa kosmetik di kamarku saat itu dia langsung berkomentar “waduh jadi cewek beneran toh jeng sekarang” biasa aku jawab dengan selorohku “Ya iyalaah, mana mau suamiku kalau aku perempuan jadi-jadian hehe

belum lama waktu berselang Ana sahabatku juga punya komentar yang sama “kemajuan neh jadi cewek”. padahal beberapa jam setelah aku akad nikah beberapa bulan sebelumnya aku sempat di semprot sama Ana karena cara jalanku yang menurutnya ‘gagah’. “kamu itu loh jeng sudah pakai kebaya, kain, jalannya masih aja gagah, feminim sedikit napa”. aku hanya bengong, rasanya aku sudah feminim habis hari itu ;(

hari ini saat tidak ada kerjaan di kantor terfikir untuk cari artikel-artikel tentang kecantikan, ini bukan yang pertama kawan tapi sudah beberapa kali. aku jadi merenungkan kata-kata temanku di atas, kenapa aku jadi begitu ‘genit’ sekarang dan agak berbeda dengan aku yang dulu bahkan teman-temanku yang mendeteksinya.


***
Lebaran kemarin Dian main ke rumah mengalirlah cerita masa lalunya, ternyata aku sama dian punya background yang hampir sama yaitu ‘ex-feminist’. Dian bercerita bagaimana dia dulu sangat tidak ingin di kalahkan oleh laki-laki, bahkan sikapnya sangat di segani oleh teman-temanya bahkan teman-teman lelaki nya. definetly aku punya latar belakang yang tak jauh beda, meski aku tak bertampang sangar kepada makluk yang namanya laki-laki tapi dulu aku sangat anti jika di anggap lemah oleh laki-laki. sehingga aku selalu bertekad apa yang bisa di lakukan laki-laki harus bisa aku lakukan.aku akan sangat bangga jika bisa mandiri dan ‘bebas’ dari bantuan laki-laki dalam berbagai hal. aku sangat membenci ideology patriarchy.

aku tidak tahu pasti dari mana awal munculnya kefeministanku, bahkan menjadi penganut aliran Feminis radikal?, yang jelas dulu aku belum kenal dengan satupun tokoh feminist seperti Voltairine De Cleyre, Margaret Sanger, Carol Hanish apalagi Vandana Shiva. tetapi perasaan tidak suka di rendahkan laki-laki itu muncul begitu saja. bahkan aku ikut oleh raga beladiri waktu SMP dengan harapan agar laki-laki tidak berani ‘kurang ajar’ sama aku..hehe. hal ini juga mempengaruhi Film kegemaranku. dulu aku suka film-film action, film perang, apalagi kalau jagoannya perempuan, dan di jaman SMPku banyak sekali film-film mandarin yang ‘memuaskan’ nafsu feminisku ini. aku akan sangat geram ketika ada film tentang kekerasan terhadap perempuan, saat itu juga ingin rasanya aku melompat masuk ke kotak ajaib hitam itu dan menyelamatkan perempuan ‘lemah’ di dalamnya ;), aku juga tidak suka film-film romantis layaknya kebanyakan teman-tamanku saat itu.

Namun berselang waktu berjalan, perasaan ‘harus sama’ dengan laki-laki itu berangsur berkurang, apalagi semenjak aku mengenal lebih banyak tentang agamaku, banyak hal yang berubah dari style of performance sampai frame of thinking. aku mulai menikmati peranku sebagai seorang perempuan yang tidak harus ngotot ingin seperti laki-laki. aku mulai mau dibantu melakukan tugas-tugas yang menghargaiku sebagai perempuan. juga aku mulai bisa memaafkan ketika harus menyaksikan ‘kelemahan’ perempuan di layar-layar kaca. dan aku tak merasa itu sebagai beban bahwa aku harus meyadarinya. kesadaran itu seperti sebuah cahaya yang datang di lorong pemahamanku yang buram.

Tetapi semua itu tidak serta merta merubah semua paradigma kemaskulinanku. walaupun aku sudah menikmati peran perempuanku tetapi aku tetap sosok yang cuek dengan penampilan. aku ogah di bilang ‘kemayu’ karena melulu memperhatikan kecantikan. aku masih tidak suka kalau perempuan di hargai hanya karena kecantikannya. bagiku otak brilian dan kecantikan dalam (inner beauty) lebih aku hargai dari pada penampilan kasat mata, walaupun aku juga belum memiliki semuanya ;). juga aku tidak suka hal-hal yang riweh, ruwet, rame, seperti kebanyakan cewek sukai. aku suka hal yang simple, sederhana, minimalis tapi cool bo..!!(hehe). aku tidak tahu pasti apakah ini pertanda bahwa porsi ‘maskulin’ ku masih lebih banyak dari perempuan kebanyakan?. Hm..Could be :)

tapi hal positive yang ingin aku kabarkan, banyak hal yang mulai berubah setelah aku menikah, aku jadi lebih peduli dengan penampilanku, kesehatan kulitku, proporsional tubuhku, semua hal yang dulu lebih banyak kuacuhkan. aku jadi sering rajin cari informasi tentang kecantikan, bagaimana mengatasi kulit kering, memperindah rambut dsb. aku jadi menyesal kenapa tidak dari dulu aku lakukan ini?hehe. tetapi aku cukup bersyukur bahwa inilah salah satu hikmah pernikahanku, Aku mulai benar-benar menghayati ‘peranku’. yah aku senang teman, meski aku tak se ‘kemayu’ wanita kebanyakan, tetapi sikap maskulinku lambat laun semakin berkurang dan berganti dengan sikap-sikap femininku. aku tak lagi bersikeras membetulkan atap yang bocor, juga tak lagi bersikeras harus jago taekwondo, harus jadi pendekar wanita, dsb. tetapi aku lebih terobsesi saat ini untuk menjadi ibu yang lembut, cerdas, dan tentunya solehah dan menjadi pendamping terbaik untuk my beloved prince;)

aku yakin ini adalah bagian dari metamorphosis hidupku. tetapi itu bukan berarti bahwa aku mengaminkan kekerasan dan penindasan terhadap perempuan yang sekarang juga masih banyak terjadi di masyarakat, hal yang menjadi alasan pemberontakan kaum feminist. Gerakan feminist menganggap penindasan ini akibat bias gender atau konstruk sosial yang menganggap wanita lebih rendah dari laki-laki.

tentu saja aku menentang apapun bentuk kekerasan dan penindasan tidak hanya bagi wanita tetapi juga bagi seluruh manusia. tetapi aku tidak harus sealiran dengan mayoritas gerakan feminst dalam hal menginterpretasikan arti penindasan dan ketidak setaraan gender.

Feminisme liberal misalnya, Asumsi dasar mereka adalah bahwa kebebasan dan equalitas berakar pada rasionalitas oleh karena itu dasar perjuangan mereka adalah menuntut kesamaan kesempatan dan hak bagi setiap individu termasuk perempuan. Industrualisasi dan modernisasi adalah jalan untuk meningkatkan status perempuan, karena akan mengurangi ketidaksamaan biologis antara laki-laki dan perempuan.(Dr. Mansour Faqih – “Menyoal Feminisme”). pada porsi normal ini bisa di terima tetapi dalam kontek kekinian gerakan ini sering menuntut di atas batas proporsioanal.

atau feminisme Radikal yang menganggap ideology partriarki di mana lelaki di anggap memiliki kekuatan superior dan priveledge ekonomi adalah akar masalah perempuan (Eisentein, 1979, hal. 17). jargon mereka personal is political yang menjadi referensi untuk melakukan revolusi individu dengan merubah gaya hidup, pengalaman atau hubungan mereka sendiri.

atau Feminisme Marxis, yang menganggap penindasan perempuan adalah akibat akumulasi kapital dan divisi kerja dalam system kapitalis. gerakan ini tidak hanya merekomendasikan untuk memutuskan hubungan dengan system kapitalis tetapi yang radikal dalam tuntutan mereka adalah mentransformasikan urusan domestic seperti mengurus RT dan anak menjadi urusan industri. mengutip kalimat Engel “hanya jika urusan mengurus rumah tangga di transformasikan menjadi industri social, dan urusan menjaga dan mendidik anak menjadi urusan umum, maka perempuan akan mencapai equalitas sejati” (apa jadinya dunia?? ;) )

aku punya konsep dan paradigma berbeda tentang penindasan ataupun ketidak setaraan gender dengan mereka. misalnya ketika aku harus pergi di luar jadwal rutinku aku harus memberitahu sekaligus meminta izin pada suamiku, meski suamiku jauh. bagi sebagian besar feminist ini bisa di anggap hal yang merendahkan perempuan atau ketidaksetaraan gender. kenapa harus izin? sedang suami tidak wajib izin?. aku menerjemahkan izin tadi bukan bentuk penindasan atau perbedaan gender tetapi aku lebih melihat pada substansi yang mengantisipasi hal-hal setelahnya. misalnya keselamatanku. suamiku biasanya tidak mengizinkan karena alasan keselamatan bukan karena ingin membatasi gerakku sebagai wanita. juga dalam hal pekerjaan domestic, aku wanita pekerja tapi tidak keberatan meski aku harus juga memasak, mencuci, atau mengerjakan pekerjaan lain. aku tidak menganggap ini sebagai double burden (red: beban ganda). karena bekerja adalah pilihanku, sedang mengurus rumah tangga menurutku juga tanggung jawabku (meski dalam tataran fiqih hal ini hanya di hukumi mubah). hanya saja aku akan bekerja sama dengan suamiku meski dalam ranah domestik. jadi dalam RT kedudukan kita sebenarnya bukan the dominator dan the dominee tetapi, we are a couple, we are a team yang harus bekerja sama untuk mensukseskan cita-cita team kita, dalam hal ini adalah visi keluarga. kedudukan kita adalah saling melengkapi kekurangan satu sama lain, bukan mendominasi atau di dominasi yang lain.

namun aku juga tidak menafikkan realita, bahwa banyak konstruk sosial yang merugikan perempuan berperan di ranah ini, misalnya ada suatu adat, budaya atau pandangan masyarakat yang melarang seorang suami membantu istrinya dalam urusan dapur, ada juga suami yang menganggap bahwa tugas ini mutlak hanya tugas istri sehingga dia merasa gengsi jika harus membantu istrinya dalam urusan domestik. disinilah sering seorang istri mengalami double burden tadi, ketika dia harus bekerja karena membantu memenuhi nafkah keluarga, di samping itu semua tugas rumah mutlak menjadi tanggung jawabnya. padahal rosul kita Muhammad SAW tak pernah enggan membantu istri-istrinya di dapur, beliau bahkan biasa menjahit bajunya sendiri, memperbaiki sandalnya, dsb. Rosulullah SAW mengerjakan apa yang beliau sanggup kerjakan meskipun itu di ranah domestik.
juga masih ada budaya masyarakat yang menganggap wanita memanglah makluk domestic yang melarang sama sekali untuk berperan di ranah public. bahkan masih ada seorang suami yang menganggap istrinya hanya sebagai ‘pembantu’ di rumah, hal-hal seperti ini juga rawan sebagai pemicu kekerasan dalam rumah ತಂಗ್ಗ.

aku setuju dengan pandangan tentang feminismenya dr.Muhammad Tohir dalam analisis Gender dengan pendekatan Biomediknya, yang menegaskan bahwa peran Gender tidak akan bisa lepas dari Sex (jenis kelamin). secara kodrati wanita diciptakan dengan struktur tubuh, baik secara fisik, biologis maupun psikologis berbeda dengan laki-laki ini sudah menjadi konstitusi ilmiah (sunatullah). itulah alasanyanya pembagian peran, misalnya laki-laki diciptakan dengan fisik yang lebih kuat untuk melindungi (bukan menguasai) perempuan. dan wanita di ciptakan lebih lembut sebagai penyeimbangnya. dari sini juga menjadi akar lahirnya perbedaan yang di anggap sebagian golongan tidak adil dalam hukum islam. seperti hukum waris, kepemimpinan, dst.

beliau mengatakan dalam akhir tulisannya ” Tidak boleh melawan sunatullah perempuan tetapi salah bila menganggap peran reproduksi sebagai kepasrahan untuk dibebani dengan peran-peran domestik yang berlebihan sekaligus menutup kesempatan peran-peran sosial yang lebih terhormat. Di butuhkan kearifan dan keikhlasan untuk mencari titik-titik keseimbangan yang proporsional. Proporsional dalam feminisme adalah esensial. Gerakan feminis yang terlalu emosional, tidak realistis dan penuh subyektifitas akan mudah keluar dari rel proporsional” (Menyoal Feminisme, hal.96)

Tidak ada komentar: