Kamis, 30 Oktober 2008

~ Metropolisku ~

Minggu ini Jakarta mulai di guyur hujan, begitu juga pagi kemarin, suasana gerimis membuat udara jakarta lebih dingin dari biasanya. cuaca yang dingin sangat mendukung untuk kembali tidur selesai subuh, apalagi pagi itu waktuku absence untuk masak. begitu waktunya harus bangun dan ke kantor rasa malas mulai mengggodaku. ingin rasanya memanjakan diri, sembunyi di balik selimut, dan kembali tidur. tetapi ketika ingat tanggung jawab pekerjaan maka terpaksalah aku harus bangkit, mandi dan bersiap di kantor. selesai bersiap jam sudah bertengger di angka 7.

aku sering mengamati hal-hal di sekitarku ketika aku berjalan terutama ketika aku berangkat kekantor karena aku harus berjalan sekitar sepuluh menit sebelum sampai di ’halte’ bus, begitu juga pagi itu. hal yang sering ku perhatikan adalah sebuah warung yang terletak di pinggir jalan tanjakan, tidak terlalu jauh dari rumahku. warung ini hanya berukuran kira2 satu kali satu meter. letaknya pas di pinggir jalan yang menanjak sehingga bangunannya menjadi oleng atau miring sebelah. secara logika, orang akan sangat enggan untuk mendirikan warung dengan letak geografis seperti itu, selain tidak strategis, juga sedikit sekali jajanan yang disajikan di warung itu, jika nalar usilku sedang jalan aku menghitung-hitung, mungkin tidak sampai butuh uang seratus ribu untuk memborong apa yang ada di warung kecil itu.

tapi kau tahu kawan, ada yang menarik di sana, setiap pagi aku melihat seorang bapak, sedang membaca koran dengan jarak tidak lebih dari 5cm, pasti si bapak ini mengalami rabun jauh yang cukup akut, atau kelainan mata lainnya. biasanya aku melihat dia duduk di dalam warung yang menyerupai kotak kubus berjendela kaca di satu sisi itu, sehingga aku hanya melihat sebagian badannya. tapi suatu hari aku melihat dia sedang berdiri di luar warung itu, dan saat itu aku baru tahu keadaan fisiknya yang sesungguhnya. kawan dia di anugerahi keistimewaan oleh Allah, dengan satu kaki yang kecil dan bengkok, sehingga sulit untuk berjalan laiknya kita yang normal.

awal-awal aku melihat warung itu, otak usilku sering bertanya-tanya, kenapa orang itu harus mendirikan warung di tempat yang sama sekali tidak strategis?, dengan banguanan yang sama sekali tidak kuat apalagi nyaman, dengan dagangan yang sangat sedikit?. secara logika aku sulit menerima.

tapi hari demi hari aku mengamati, akhirnya aku seperti menemukan jawaban dari pertanyaan2 ’konyol’ ku itu- yaitu Independent willingness. kau tahu kawan, di jakarta ini banyak orang yang memanfaatkan kebaikan orang dengan pura-pura menjadi cacat, bahkan pura-pura menjadi miskin dengan memakai baju compang-camping, tetapi kemudian berganti penampilan parlente ketika ’tugas’ nya selesai?. hal ini sudah menjadi rahasia umum. dan kau tahu kenapa si bapak yang cacat ini begitu setia mempertahankan warung yang menurutku ’illogical’ tadi. menurutku adalah rasa ingin mandiri dan tidak ingin menjadi beban yang mendorongnya untuk tetap berusaha semampunya. meski aku tak bisa membantunya namun pikiran isengku sering menimbang-nimbang, berapa ribu penghasilan dia sehari dengan kondisi warung yang aku ceritakan di atas. namun warung itu masih bertahan sampai saat ini dan mungkin sudah bertahun-tahun di sana.

di sini satu sisi kekagumanku akan keuletan si bapak tadi kawan, melihat kondisi fisiknya dan kemungkinan kondisi ekonomi yang emmprihatinkan tetapi dia sama sekali tak tergerak hati intuk meminta-minta, padahal banyak orang yang memanfaatkan ’moment’ yang di milikinya.

hal lain yang sering aku perhatikan adalah, tukang sapu jalanan. aku biasa berangkat ke kantor jam 7 pagi, nah di saat menunggu bus kopaja aku sering melihat tukang sapu jalanan dengan seragam orange dan menutupi sebagian wajahnya dengan self-made maskernya, sedang sibuk membersihkan bahu jalan. tak peduli saat itu sudah terik atau sedang gerimis, aku sering melihat mereka tetap amanah dengan tugasnya. kau tahu kawan berapa gaji mereka sebulan? aku pernah mendengar beberapa waktu lalu, bahwa gaji tukang sapu jalanan tak sampai 300 ribu sebulan, (correct me if I am wrong). waktu itu aku lihat mereka di wawancara di salah satu statiun TV. tapi aku tidak tahu kalau mungkin sekarang sudah naik menjadi 500 – 600 ribu, Hm..hopefully. dan kebanyakan meraka harus berangkat pagi-pagi buta sebelum jalanan ramai dengan lalu lintas, dan baru selesai ketika matahari sudah mulai tinggi.

dan kau bisa bayangkan kawan, bagaimana hidup di jakarta dengan uang 300 ribu sebulan? apalagi kalau ada keluarga? tentu kau tak perlu survey berapa harga beras, berapa harga minyak goreng dsb.tetapi itulah rezki kawan terkadang tidak bisa di nilai dengan matematika duniawi. tetapi hal yang ingin aku soroti di sini adalah semangat kerja pak tukang sapu tadi. mungkin berangkat dari sebuah keinginan yang sama untuk bisa bertanggung jawab dan tidak ingin menjadi beban, dia rela lakukan pekerjaan yang sangat tidak adil antara waktu, tenaga dan gaji yang di terima. lebih jauh mungkin kita bisa mengamati pekerjaan para kuli panggul, kuli bangunan dan sebagianya, yang semua itu menurutku harus di hargai sebagai sebuah usaha dan kerja keras, untuk sebuah survival dengan memperjuangkan independent willingness tadi atau ketidak inginan menjadi beban orang lain. dan mungkin satu lagi hal yang kuat meraka pegang adalah sebuah prinsip untuk mencari nafkah di jalan yang halal.

***
yah begitulah kawan, aku pun harus berkejaran, berdesakan, bergelantungan dalam bus kota untuk bisa sampai di kantorku. tetapi apa yang aku nikmati saat ini tentu harus lebih jauh aku syukuri jika melihat kondisi mereka-meraka yang aku ceritakan di atas. di antara desakan penumpang, peluh yang mengalir, bercampur bau manusia yang beraneka ragam, aku sering tersenyum melihat pemandangan di sepanjang perjalananku. pemandangan jakarta di pagi hari yang sangat riuh rendah, dengan hiruk-pikuk kehidupan, ketika para karyawan bergerak menuju pusat kota untuk bekerja, ketika para pemilik toko bersiap membuka tokonya, para pemilik warung nasi sibuk menyiapkan masakan di warungnya, para pedangang sayur sibuk berkeliling menjajakan dagangannya, pedagang jamu dengan lemah gemulai berjalan kaki menawarkan jamunya, pemulung yang mulai beroperasi dengan kantong bututnya, para tukang sapu sibuk menylesaikan tugasnya, ataupun para boss yang sibuk membaca koran di mobil mewahnya. dari sini aku melihat geliat kehidupan yang Maha semangat di kota jakarta, aku melihat sosok-sosok pekerja keras yang tak kenal menyerah, aku melihat wajah-wajah penantang nasip yang siap bertaruh untuk bertahan hidup, dan aku mencintai jakarta di titik ini – Kota para pekerja keras..

Aku seperti menemukan satu energi baru untuk setiap langkah kehidupanku, dan secara tidak langsung kehidupan jakarta banyak mengajarkan aku untuk berjuang menjalani hidup, menghadang masalah dan bergelut dengan kesulitan meski hal ini hanya di lihat dari satu corner - ekonomi.

Kawan...ku ingin beritahu, satu hal lagi yang berharga dari perjalanan hidupku adalah menikmati kehidupan dikota metropolitan ini, sepuluh tahun aku berjuang untuk bisa bertahan di kota ini dengan segala suka-dukanya, dengan beragam manis-pahitnya. Meski aku sering kali mengkritik keras berbagai kebijakan yang ada, meski akupun sering tak pernah puas dengan segala fasilitas yang terkadang tak sanggup aku nikmati, dan lain sebagainya. namun bagaimanapun kota ini mengajarkan aku banyak hal. kota ini mengajarkan aku bagaimana mengatasi kerasnya kehidupan, bagaimana memerangi kemalasan.

ach...pasti aku akan sangat merindukan jakarta ketika kelak aku harus pergi meninggalkannya... ;)

Tidak ada komentar: