Jumat, 07 November 2008

~ Amrozi dan Terorisme ~

Akhir-akhir ini kita di hebohkan dengan berita eksekusi pelaku Bom Bali Amrozi CS. hampir semua media massa membuat headline yang sama tentang berita ini. kemarin malem sempat juga menonton acara dialog di TVone tentang Indonesia dan kontek terorisme, dan kaitannya dengan kasus Amrozi.

aku sependapat dengan Jubir HT dalam menyikapi kasus Amrozi ini. bapak Ismail Yusanto kemarin mengatakan bahwa menurut hukum Islam, membunuh atau menghilangkan nyawa orang dengan alasan yang tidak di benarkan dalam syariah hukumanya adalah qishos atau Hukuman mati, jika ahli waris yang dibunuh tidak memaafkan. dalam kasus bom bali jelas banyak manusia-manusia tak berdosa yang terbunuh di sana walaupun sang pelaku mengakui bahwa aksinya adalah atas motivasi jihad yang sebagian orang membenarkan tetapi jawaban MUI menurutku sudah mewakili, bahwa jihad dalam hal ini sungguh suatu terma yang tidak relevant.

namun terlepas dari hal itu yang perlu di cermati sebenarnya adalah, benarkan Amrozi CS yang melakukan pembomam sedemikian dasyat, yang membunuh ratusan orang, dan menghancurkan kota Legian?? ataukan ada infiltrasi, interfensi atau design-design lain yang di selipkan dalam aksi ini?. Berdasarkan hasil pemeriksaan bom yang meledak di bali tepatnya Sari Club-Legian saat itu termasuk bom semi nuklir.

dalam persidangan, Imam samudra pernah mengakui bahwa dia sendiri heran dengan ‘hasil’ pemboman yang menurutnya melebihi kemampuannya, juga mobil yang digunakan (Mitsubishi L-300) berbeda dengan yang di sepakati dalam rapat terakhir mereka (Suzuki Cary). juga seperti Jubir HT mengatakan ada kejanggalan yang perlu di analisa dalam kejadian ini, diantaranya adalah tidak matchingnya antara motivasi dan target. motivasi para pembom ini adalah karena kebencian mereka kepada Amerika, tetapi yang menjadi sasaran pemboman mereka adalah Bali, mengapa harus Bali?, apa hubungannya antara Bali dan Amerika. memang Bali adalah salah satu kota wisata yang paling di cari oleh turis Australia, dan Australia seperti yang kita tahu adalah salah satu antek amerika. tetapi apa hubungannya warga Negara Australia (yang mungkin tidak tahu menahu dengan Amerika) harus bertanggung jawab atas perbuatan pemerintah Amerika. juga pemboman di JW Marriot, mengapa harus hotel Marriot, padahal hotel Marriot bukanlah milik amerika bahkan banyak symbol-simbol Amerika di negeri ini malah selamat seperti kedutaan Amerika.

tetapi hal ini di jawab oleh Umar Abduh [yang mengaku sebagai ‘mantan teroris’] bahwa hal ini karena kenaifan berfikir para pelaku tadi. kenaifan dalam mentranslasi motivasi dalam aksi. sedangkan Jubir HT mengatakan hal ini bukan kenaifan tetapi kealfaan yang bisa di sebabkan oleh mis-informasi dan kurangnya informasi (seandainya benar mereka pelaku ‘tunggal’ dalam kasus ini).

memang ada beberapa perbedaan sudut pandang yang aku lihat dari sisi Umar Abduh dan Jubir HT, di mana Abduh yakin bahwa hal itu mereka lakukan, bukan atas campur tangan intelejen atau pihak lainnya, sedangkan Jubir HT mengatakan ada indikasi design atau hidden hand di balik peristiwa itu. bisa saja dalam hal ini infiltrasi atau profokasi asing yang ingin semakin menjatuhkan wajah Islam di negeri ini.

namun pada kesimpulannya di temukan benang merah diantara dua pendapat ini yaitu ketidakadilan dalam stigmastisasi. adalah benar bahwa Amrozi tidak bisa di benarkan dalam aksinya, juga benar bahwa peristiwa ini peristiwa yang tragis, tetapi jika kita amati seperti ada over reacting dalam menanggapi peristiwa ini, berita yang selalu di ulang-ulang di media baik media cetak maupun media elektronik, bahkan di adakan perayaan terjadinya tragedi ini setiap tahunnya dengan berita yang di sebar ke pelosok penjuru dunia, dengan selalu mengaitkan mereka dengan Islam, entah itu Islam konservative, fundamentalis atau Islam radikal, ada proses yang sebenernya sedang di bentuk di sini. proses stigmastisasi, proses yang sudah demikian lama berjalan di dunia timur tengah yang akhir-akhir ini merambah Indonesia sebagai Negara muslim terbesar – hal ini di tujukan untuk memberikan stigma bahwa Islam is terrorist, dan Indonesia is the home of terrorists.

ketidakadilan ini jelas tampak ketika kita melihat sejarah, dengan tragedi-tragedi yang massive yang jauh lebih memilukan namun di arahkan untuk ‘di maklumi” sebagai tindakan preventive atau tindakan balasan. karena tindakan ini di lakukan oleh mereka yang menggembar-gemborkan istilah Teroris itu sendiri. ‘sejarah nyata’ mencatat Pembantaian ribuan rakyat Elsavador di era Carter-Reagen, pembantaian puluhan ribu rakyat Guatemala, pembantaian di Nikaragua, Afganistan, Libanon, dan terakhir Irak, penghancuran sebuah Negara yang menelan korban ratusan ribu jiwa, tidak pernah di anggap sebagai tindakan teroris. Mana ada yang mengatakan Bush itu teroris? dengan aksi pembumihangusan Irak juga dukungan berketerusannya pada Israel yang tidak henti-hentinya membantai rakyat palestina.

bukan dalam rangka pembenaran jika aku katakan apa yang di lakukan Amrozi CS sungguh tidak ada apa-apanya jika di banding dengan apa yang di lakukan Amerika dan anteknya terhadap Negara lain, kesewenang-wenangan, pembantaian, kebiadapan telah mewarnai the real History sang kaisar (Amerika: red) ini yang kemudian di hapus dari sejarah, sehingga apa yang banyak masyarakat baca, fahami dan nikmati saat ini adalah sejarah yang di ‘sterilisasi’. inilah yang di sebut: Newspeak World.

dalam bukunya Naom Chomsky edisi terjemahan, Jalaludin Rahmat dalam kata pengantarnya mengatakan bahwa otak kita persis seperti computer yang merekam berbagai peristiwa dunia, dan kemudian di tulis dan kelompokkan dalam kategori tertentu. dalam hal ini otak kita bisa berfungsi seperti kamus besar kita, yang bisa merecall berbagai kejadian berdasarkan informasi dari kejadian itu. karena proses strorisasi dalam otak kita sering di bentuk oleh kata-kata yang kita dengar dari informasi, maka sejatinya sebagian besar kita memahami dunia ini lewat kata-kata.

dalam bidang linguistic sudah lama ada anggapan tentang keterkitan antara bahasa, fikiran dan pengalaman. Naom Chomsky dalam teori generative grammar yang mengasumsikan kategori kodrati (innate category) dalam jiwa manusia, dimana pengetahuan di peroleh dengan mengaplikasikan category kodrati ke dalam pengalaman. seperti halnya Descartes, Chomsky juga melihat manusia sebagai makluk rasional. dalam bukunya yang di terjemahkan oleh Hamid Basyaib “menguak tabir terorisme internasional”, Chomsky mengutarakan keprihatinannya karena rasionalitas manusia ini telah di kendalikan oleh kekuatan raksasa (Chomsky menyebutnya American Ideological System). pikiran manusia telah dikontrol melalui penggunaan kata-kata dan pemberian makna tertentu yang di sebut dengan istilah newspeak (Orwellian Term).

sejumlah newspeak telah mengeliminasi bahkan mendistorsi pemahaman kita terhadap realitas. sehingga muncul dua dunia, yaitu dunia nyata (the Real world) dan dunia newspeak (the Newspeak world). dunia newspeak adalah dunia yang diciptakan oleh “kaisar” yang berkepentingan dengan mendistorsi informasi demi pembentukan presepsi yang di inginkan. (Menguak Tabir Terorisme Internasional, Hal. 14)

suatu hari St. Augustine menuturkan cerita tentang seorang bajak laut yang di tangkap oleh Elexander Agung, kemudian terjadilah dialog antara Pembajak dan Alexander agung berikut ini:
“mengapa kamu berani mengacau lautan” Tanya Alexander agung. kemudian di pembajak balik bertanya ”mengapa kamu berani mengacaukan dunia?”, karena aku melakukan dengan perahu kecil maka aku di sebut maling, dan kalian karena melakukannya dengan kapal besar di sebut Kaisar” tambah si Pembajak. jawaban pembajak itu sangat bagus dan jitu menurut St. Augustine.

kisah di atas menggambarkan dengan akurat hubungan antara Amerika dengan berbagai actor kecil dalam panggung terorisme internasional akhir-akhir ini. lebih luas lagi St agustine mengungkapkan makna terorisme international dalam penggunaannya di barat dewasa ini dan menyentuh inti-kebiadaban menyangkut peristiwa-peristiwa terorisme tertentu yang hari-hari ini di rancang-degan sinisme yang paling kasar-sebagai selimut untuk menutupi kekerasan barat (Naom Chomsky, Menguak tabir Terorisme Internasional, hal. 19)

istilah terorisme mulai di gunakan pada akhir abad ke-18, terutama untuk menunjuk aksi-aksi kekerasan pemerintah yang di maksudkan untuk menjamin ketaatan rakyat pendeknya, cukup menguntungkan bagi para pelaku terorisme Negara yang karena memegang kekuasaan, berada dalam posisi mengontrol system pikiran dan perasaan. dengan demikian istilah aslinya terlupakan dan istilah “terorisme” lalu di terapkan terutama untuk “terorisme pembalasan” oleh individu-individu atau kelompok-kelompok. (International Terrorism and political crimes, Charles Thomas, 1975)

namun dengan membebaskan diri dari indoktrinasi itu kita mengguakan istilah ‘terorisme’ untuk menunjukkan ancaman atau penggunaan kekerasan untuk menindak, memaksa (biasanya untuk tujuan-tujuan politik), entah itu terorisme besar-besaran oleh sang Kaisar ataupun terorisme pembalasan oleh si Pembajak.(Naom Chomsky – Menguak Tabir Terorisme Internasional, hal. 19)

namun saat ini banyak warga dunia termasuk Indonesia terutama pemerintahnya terjebak dengan indoktrinasi ini. indoktrinasi yang di arahkan dalam rangka perang ideologi yang di ciptakan Amerika. pemerintah kita, juga media kita sudah sedemikian latah dalam pemberitaan. setiap ada kejadian sering dengan presumptive, langsung melabeli teroris dengan kemudian menambahkan gelar Islam - Islam Radikal, conservative atau fundamentalis. kita sudah menikmati dunia Newspeak yang di ciptakan oleh para pemilik kepentingan itu. dengan tanpa sadar kita ikut menciptakan stigma-stigma itu. stigma yang mencoreng muka kita sendiri sebagai muslim. stigma yang menjadikan lahirnya Islam-phobi di dunia barat.

Terma Teroris telah direduksi bahkan didistorsi maknanya menjadi sebatas tindakan kekerasan yang di lakukan oleh sekelompok kecil yang menggugat ketidakadilan, sekelompok orang yang merasa tidak puas akan ketidakadilan tangan besi sang Kaisar, bahkan sekelompok orang yang tidak se-ideology dengan sang Kaisar. Teroris hanya milik pembajak dalam bahasa St. Augustine, sementara Sang Kaisar tetaplah ‘penyelamat’ yang melakukan tindakan preventive ataupun pembalasan, meskipun sampai meluluhlantakkan sebuah negeri, menghabisi nyawa ribuan jiwa, sang Kaisar dan anteknya tidak akan pernah di sebut Teroris, padahal seharusnya jika Amrozi CS di sebut Teroris maka George W Bush adalah kakek Buyutnya Teroris, karena telah membunuh ribuan bahkan puluhan ribu jiwa tak berdosa.

Naom Chomsky juga mengatakan bahwa Terorisme dalam pengertian Rasis Diskursus Amerika, Menunjuk pada Teroris oleh bangsa-bangsa Arab, tetapi tidak oleh Yahudi, sebagaimana ‘perdamaian’ berarti penanganan yang menghormati hak menentukan nasib sendiri bagi bangsa yahudi, tetapi tidak bagi bangsa palestina (Naom Chomsky (Edisi Terjemahan) – Menguak Tabir Terorisme Internasional, Hal. 72)

Mungkin para korban ataupun Sang Kaisar akan sangat puas dengan eksekusi ini, tetapi ini bukan suatu solusi untuk Indonesia. karena sejatinya kasus Amrozi belumlah tuntas, belum di temukan siapa otak yang menjadi Mastermind kejadian itu, juga belum tuntas design-design tersembunyi yang perlu di selidiki. tentu akan ada kemungkinan muncul Amrozi-Amrozi yang lain. dengan sebuah premis sederhana jika ingin menemukan solusi dari masalah maka temukan penyebabnya. masalah dari kasus-kasus serupa Amrozi ini adalah ketidakadilan. ketidak adilan pada dunia Islam, ketidakadilan pada dunia ketiga yang di wujudkan dalam invasi, intervensi, maupun dalam bentuk neo-kolonialisme. sebelum hal ini di akhiri maka akan terus ada perlawanan, atau tindakan-tindakan anarkis lainnya.

Tidak ada komentar: