Rabu, 17 Desember 2008

My 'Second' Eyes

Hari minggu pagi frame kaca mataku patah, aku coba-coba berkali untuk di pasang lagi tapi hasilnya nihil. mungkin memang sudah waktunya diganti. Cuma waktunya saat itu tidak memungkinkan, karena aku lagi males banget keluar, gara-gara asam lambungku yang mulai akut lagi.

tapi sorenya aku harus ke bandara, menemui Iqbal adek iparku yang ingin ketemu – pertama kali – juga mengantarkan titipan dari mertuaku yang sangat baik hati (hehe). baru terasa betapa aku sudah tergantung dengan benda yang namanya kaca mata minus itu. walau di rumah aku tidak biasa memakainya karena di rumah aku memandang objek semuanya masih relative dekat (karena rumahku kecil kawan) sehingga tidak ada masalah ketika tidak memakai kacamata, tetapi ketika aku keluar atau ke jalan, aku merasakan pandangan yang tak sempurna. sebenernya minusku belum terlalu parah apalagi kalau di bandingkan dengan mereka yang kena silinder (hehe) tapi ini saja sudah sangat mengganguku. aku memang masih bisa melihat objek atau benda dengan terang tetapi tidak jelas - untuk objek sejauh 3 meter atau lebih. itu yang sangat mengganggu. aku melihat keberadaan objek itu tetapi tidak bisa menyaksikannya dengan detail. sebagai contoh kalau aku ketemu seseorang dari jarak kira-kira 5 meter, aku melihat orang itu, warna bajunya, kulitnya rambutnya tetapi tidak jelas bentuk wajahnya sehingga sering aku tidak mengenali orang yang sebenarnya sudah aku kenal karena penghalang penyakit minusku tadi kecuali aku sangat hafal dengan postur tubuh atau warna pakaiannya. menyedihkan.

kemarin ketika sampai di bandara, aku seperti orang bodoh, atau orang udik yang baru pertama kali ke bandara. aku tidak hafal terminal A – F. dan biasanya kalau kesana aku pasti melihat tanda atau tulisannya, tetapi kemarin karena aku tidak memakai kaca mata aku kebingungan sendiri, sampai aku kebablasan dan akhirnya baru tanya sama sopir juga penumpang di sebelahku. sampai di bandarapun pandangan seperti kabur dan semrawut bahkan membuatku pusing. seperti ketika aku mencari tulisan Toilet/mushola. aku harus mendekati lighting board dan melihat tulisannya dengan jarak yag relative dekat. dan banyak lagi hal ketidak nyamanan yang aku rasakan ketika aku kehilangan ‘mata keduaku’ ini.

kawan diatas adalah keluhanku yang baru minus satu atau mungkin sekarang sudah hampir 1,5. aku tidak bisa membayangkan bagaimana mereka yang menderita kebutaan? baik itu buta sejak lahir ataupun buta karena kecelakaan, penyakit atau sebab lainnya. pasti sangat-sangat tidak nyaman. itulah yang membuatku merasa begitu lebih bodoh kemarin dan menyadari kebodohan itu karena mungkin semua ini – minusku – karena kebodohanku memanfaatkan penglihataan yang diberikan oleh-Nya atau ketidak pedulianku merawatnya dengan baik.

sebelumnya aku pernah punya pengalaman – yang berkaitan dengan penglihatan ini - yang sanggup menggetarkan hatiku, bahkan seakan memaksa mataku untuk memancarkan telaga beningnya. waktu itu aku mendapat kesempatan menjadi salah satu panitia Training motivasi untuk tunanetra. pengikutnya tentunya para tunanetra meski ada sebagian kecil yang belum total blind, masih bisa melihat meski sangat sedikit atau dengan jarak yang sangat dekat.

waktu itu Training diformat hampir layaknya training untuk orang bermata normal dengan berbagai materi, motivasi, games, dsb. semua ditujukan agar mereka mempunyai kepercayaan diri yang sama seperti layaknya manusia normal lainnya. aku salut dan sangat senang karena melihat mereka begitu bersemangat mengikuti setiap permainan, meski dengan susah payah, bahkan kadang saling tabrak atau terjatuh, tapi mereka tidak menganggap itu suatu penderitaan, mereka bahkan tertawa ketika terjatuh atau menabrak temannya yang lain. aku baru tahu bahwa ternyata itulah joke mereka.

pada saat sesi menyanyi, MC memberi kesempatan bagi peserta yang mau menyanyi dan mereka banyak yang mempunyai bakat terpendam menyanyi ini. dan dengan sangat percaya diri mereka menyanyi, tampil dengan gerak sekena mereka, yang menurut mereka mungkin itulah gaya yang biasa di perankan para artis yang mereka dengar tetapi tidak mereka lihat. bagi kita yang normal gaya mereka tentu terkesan kaku dan sedikit aneh, tetapi itulah dunia mereka kawan, dunia yang penuh gulita, sunyi, sepi tanpa warna namun sanggup mereka nikmati dengan segenap rasa. aku salutmelihat semangat mereka.

meski di antara mereka ada juga yang sangat sensitive, tidak mau di ajak bermain, bahkan menangis tanpa sebab – mungkin ini salah satu efek psikologisnya. haru dan pilu aku menyaksikannya

dan ketika waktu sholat datang, mereka dibimbing untuk berwudlu dan sholat. karena keterbatasan panitia sehingga lima atau enam peserta di bimbing oleh satu panitia, dan mereka harus saling berpegangan. saat itu jalan menuju ke mushola serupa jalan setapak sehingga mereka harus berbaris kebelakang memegang pundak teman yang di depannya dan panitia tentu saja sebagai penunjuk arah dibarisan terdepan. ketika ada lubang panitia mengingatkan dan mereka dengan tanpa di perintah mengingatkan kepada temannya yang di belakang. namun ketika mengambil air wudlu mereka seperti sudah terbiasa sehingga tak perlu di bimbing lagi.

selesai sholat mereka sibuk mencari sandal/sepatu masing-masing, kau tahu kawan betapa sedih aku menyaksikan mereka dengan meraba, namun tetap dengan wajah innocent, ceria mereka seakan cuex dan biasa saja dengan keadaannya dengan bertanya ‘mana neh sandalku?” padahal terkadang saat bertanya kawan lain menumburnya dari belakang atau tak sengaja menginjaknya. sedih kawan aku sedih menyaksikan itu, bukan sengaja membiarkan tetapi karena jumlah panitia sangat terbatas sehingga tidak semua peserta ini bisa selalu di dampingi.

tetapi kawan banyak meraka yang punya ‘keistimewaan’ – tunanetra – ini justru prestasinnya jauh melebihi kita yang normal. Hellen Keller, Stevie Wonder adalah contohnya. Dan di Indonesia ada Eko Ramaditya Adikara seorang blogger, penulis, jurnalis, dan juga game music composer. jangan tanya bagaimana caranya, yang pasti semangat dan kerja keras merekalah yang membuat DIA menganugerahkan mereka berbagai kesuksesan itu. bagaimana dengan kita kawan, bukankah seharusnya kita lebih sukses dari mereka? Ach aku tak perlu bertanya padamu, karena aku sendiri harus menanggung malu saat berkaca pada diriku L

sehari itu aku merasa di paksa untuk menangis dalam hati, menangis karena banyak tidak syukurku. menangis karena banyak yang ku lalaikan terutama dengan nikmat penglihatan yang diberikan padaku. menangis karena nikmat ini sering kubalas dengan ketidaktauhan diriku. dan saat itu aku sudah menderita minus yang aku tahu disebabkan oleh kelalaianku tidak memperhatikan ‘kaidah’ membaca dengan baik.

Kawan, tentu kau setuju bahwa penglihatan kita sangat dan sangat berharga. bahkan kita tak akan mungkin menjualnya meski ada yang mau membayarnya 5 milyar sekalipun. namun disadari atau tidak kita sering meremehkan hal ini. kita sering dengan suka-suka hati menggunakannya – yang menurut kita ini hak kita sepenuhnya. sehingga sering hal itu merugikan diri kita sendiri. dan hal lain lagi, kita sering menggunakan mata ini untuk hal-hal yang justru menghianati Dzat yang mengamanahkan mata ini kepada kita.

mungkin waktunya belum terlambat untuk menyadari betapa banyak nikmat yang kita dapat ‘hanya’ dari sepasang mata ini, belum lagi indera kita yang lainnya. semoga kita terutama aku sendiri akan menjadi orang yang tahu berterima kasih.

Tidak ada komentar: