Selasa, 30 Desember 2008

Maryamah Karpov

aku baru selesai membaca bukunya Mas Andrea Hirata ‘Maryamah Karpov’, karya purna dari Tetralogi Laskar pelanginya yang sudah lama ku tunggu-tunggu. buku terakhir dari tetralogi ini cukup tebal bahkan paling tebal diantara buku yang lainnya, dan harganya pun paling mahal :)tetapi aku bisa membaca dengan gratis karena pinjem dari Tari (Hehe ga modal lagi neh)

cerita dalam maryamah Karpov ini adalah Kisah sang protagonist Ikal atau Andrea sendiri sepulang dari study di prancis juga pencarian lanjut akan cinta ‘sejati’ nya A ling. novel ini juga menggambarkan kebingungan si Ikal sebagai seorang lulusan Master di LN yang masih menjadi pengangguran di negeri nya yang tak mampu menampung dirinya dan ilmu yang telah di dapatnya. dalam novel ini juga banyak di bahas tentang budaya melayu pedalaman – belitong – sehingga sangat lekat dan tampak pendekatan budaya yang di usung Mas Andrea dalam novel ini.

secara keseluruhan novel ini masih menarik dengan gaya cerita Mas Andrea yang tidak pernah kering ide, lucu, konyol dan kadang kala ‘jahil’ dan sering merangsang tawa. tetapi ada beberapa kejanggalan yang menurutku membuat novel ini tak ‘semegah’ novel sebelumnya.

kejanggalan pertama adalah tidak relevannya judul ‘Maryamah Karpov” dengan isi cerita. sampai selesai aku membaca novel ini aku seperti belum menemukan alasan kenapa Mas Andrea memilih judul ini. memang sebuah keniscayaan bahwa judul haruslah mempunyai unsur eye-catching, juga bahwa judul berbeda dengan tema, sehingga judul tidak menyandang ‘beban’ seberat tema yang harus menjadi representasi utuh dari keseluruhan isi cerita. tetapi judul setidaknya bisa menjadi gambaran tentang cerita yang ada di dalamnya meski tidak keseluruhan – dan hal ini sudah Mas Andrea aplikasikan di novel sebelumnya. dan dalam novel ini judul Maryamah Karpov menurutku tidak bisa menggambarkan sedikit pun cerita dalam novel ini. karena nama Maryamah sendiri hanya muncul dua atau tidak lebih dari tiga kali dalam cerita novel, juga tidak mempunyai posisi penting dalam membangun cerita novel ini.

kejanggalan yang lain adalah efek improvisasi imaginasi yang menurutku kurang ‘greget’ sehingga terkesan agak dangkal. seperti dalam pembuatan kapal, dalam pelayaran di selat malaka, bertemu dengan A ling,dsb. yang bisa di lakukan dengan ‘cukup’ mudah. juga cerita cinta heroic Ikal - yang rela bekerja do everything - sampai membuat kapal dan mengarungi selat malaka dengan berbagai ancaman maut hanya untuk menemukan cinta pertamanya A ling justru membuat novel ini tidak unik lagi. kisah cerita heroic serupa sudah banyak diusung oleh main stream. juga kisah ini mendekonstruksi karakter laskar pelangi yang ‘pejuang tangguh’ terkenal dengan sikap kuat, ulet, tegar menjadi terkesan cengeng dalam urusan tetek bengek cinta monyet :).

juga ada semacam ‘transformasi’ karakter di novel Maryamah Karpov ini, seperti karakter Tuk Bayan Tula yang di gambarkan dalam Laskar pelangi begitu wibawa, jahat, sakti mandraguna, yang cenderung seperti pembunuh berdarah dingin di novel ini di gambarkan menjadi seorang dukun yang tiba-tiba cukup ramah dengan orang yang tidak begitu di kenalnya juga menjadi begitu ‘lugu’ sehingga rela bernegoisasi untuk sebuah TV portable hitam putih. mungkin Mas Andrea ingin mengusung kisah sedikit komedi di sini, tetapi aku menangkap sebagai ‘transformsai’ karakter yang jusru menciderai pembangunan karakter yang seharusnya hidup. juga karakter Mahar yang terkesan changeable di novel ini. Mahar yang mula-mula di gambarkan sebagai seorang dukun yang cool dan berwibawa di akhir-akhir cerita menjadi mahar yang seperti sebelumnya menjadi konyol dan lucu.

dalam novel ini juga banyak sekali di explore budaya melayu yang kebanyakan negative sಇದೆnya bahkan jika di banding dengan etnik2 pendatang seperti Hokian, Pho Ho, atau suku Sawang. suku melayu pedalaman di gambarkan sebagai suku yang suka besar bicara dan suka ingkar janji. mungkin ini bentuk ‘kejujuran’ dan kritik Andrea dengan realitas etnisnya juga negeri kita di atas etnis atau Negara lain. tetapi bisa juga ini di artikan sebagai symbol inferiority complex jika di lakukan pendekatan Poscolonialisme.

pernah aku membaca sebuah kritik akan karya Mas Andrea dengan pendekatan posco ini, dan dalam dunia sastra sah-sah saja mengkritik sebuah karya sastra asal dengan metodologi pendekatan yang bisa di terima. dari tinjauan Posco bisa jadi kritik ini benar. tetapi jika di dekati dari socio-culture pun ini bisa membenarkan realitas yang sebenarnya. dan jika ingin ditarik manfaatnya yah paling tidak sebuah kritik tajam ini bisa di jadikan dalil tambahan untuk perbaikan negeri ini.

aku tidak sedang melakukan literary criticism dengan metodologi approach yang seharusnya :) ini hanya pandanganku secara umum saja.

Overall, aku masih suka dengan gaya cerita mas Andrea yang tidak kering dengan kelucuannya, kepolosan juga ‘kejahilan’nya. juga aku masih suka gaya muatan sains dalam novel ini yang di sandingkan dengan dunia metafisik meski harus ku akui kalau novel ini tak sebagus tiga novel sebelumnya. :)

Tidak ada komentar: