Selasa, 23 September 2008

~ Magical Black Box ~


akhir-akhir ini aku sering di buat muak abis ketika sedang mencari acara TV yang bagus. aku harus mengobrak abrik semua stasiun yang ada dan lagi-lagi yang ku temukan tak akan jauh dari sinetron, aksi panggung atau reality show ala ‘hedonis dan vulgar’. kotak hitam yang di sulap menjadi pusat entertain itu jadi tak menarik lagi dalam pandanganku.

beberapa bulan yang lalu aku ngobrol dengan Umi Hanin tetangga kontrakan, yang baru punya satu putri umur 5 tahunan. Umi Hanin bilang dirumahnya memang tidak di sediakan TV, tapi ada VCD. alasannya sulit untuk menyaring acara TV meski setiap saat bisa mendampingi putrinya, ada saja saat ‘kecolongan’ karena hampir semua acara TV mengekspose berita kekinian secara informative yang Nir-filter. aku mengangguk setuju, kalau aku amati memang jarang sekali acara TV yang sarat nilai edukasi. kalaupun ada terkadang harus sangat cermat menyingkirkan nilai distruksi yang lebih dominan.

acara2 TV mayoritas, seperti biasa selalu mengikuti arus mainstream media, yang hanya mengetengahkan hal kekinian tanpa ambil pusing dengan esok atau masa depan, dengan kata lain TV telah menjadi salah satu ajang aklamasi postmodernisme (anti kemapanan) yang bisa berakibat menjamurnya generasi yang ‘tidak jelas’. lihat saja tayangan2 sinetron yang temanya sarat dengan materialisme -segala sesuatu yang bersifat kebendaan - , seperti kekayaan, kecantikan, kekuasaan, dan sejenisnya. Violence (kekerasan) baik fisik, verbal, atau psikis. juga sangat sarat dengan seksualitas, mistik, irrationalitas seperti hadirnya tokoh yang terlalu baik, atau terlalu jahat., yang hanya menambahkan polesan‘dreaming land’ yang jauh dari realita.

belum lagi reality show yang mangumbar acara2 vulgar juga gaya hidup yang hedonis, narsis bahkan permissive,sepeti playboy kabel, H2C, CLBK dan lain sebagainya, sering membuatku mengerutan dahi apa manfaat dari acara2 ini selain mengeruk keuntungan semata bagi pihak media nya?.

beberapa hari lalu sempat juga nonton acara di TV one yang membahas tentang rencana KPI untuk berusaha sedikit ‘merekonstruksi’ tayangan2 TV agar sedikit bernilai edukasi. saat itu salah satu pihak yang pro (maaf lupa namanya) menyebutkan bahwa beliau pernah bertanya pada seorang produser sinetron ‘destructive’, bagaimana seandainya anak-anaknya menyaksikan sinetron yang di buatnya?. dan yang mengagetkan adalah jawabannya. Produser itu menjawab, anak-anak saya, saya larang nonton sinetron atau film yang saya buat. coba anda bayangkan betapa egoisnya dia? dia relakan generasi negeri ini hancur asal anaknya selamat. Saat itu KPI juga mengkritisi tayangan komedi yang mengekspose seksisme seperti kebanci-bancian, laki-laki berperan menjadi wanita, dsb. yang sebenernya suatu hal yang minim ada nilai positivenya. kenapa kelucuan harus selalu dikaitkan dengan gaya ‘kebanci-bancian’? seorang pelawak menjawab bahwa itu salah satu karakter atau ciri tersendiri. tentunya aku setuju dengan KPI yang menginginkan pelaku komedian pun lebih creative membuat cerita sehingga bukan sekedar ingin mendapat uang karena berhasil mengocok perut penonton tapi juga ada rasa rensponsibilitynya dengan imbas aktingnya bagi penikmat khususnya anak-anak.

coba kita simak laporan penelitian dari yaysan Pengembangan Media anak di bawah ini:

Penelitian Yayasan Pengembangan Media Anak: “Potret Sinetron Remaja Indonesia” dilakukan terhadap 92 judul sinetron, dengan 362 episode sepanjang 464 jam. Konsep yang dieksplorasi adalah kekerasan, mistik, seks, serta moralitas.

A. Anatomi Kekerasan dalam Sinetron Remaja Indonesia
Kekerasan Psikologis: 40%, di bawahnya kekerasan fisik. Kekerasan psikologis adalah: mengancam, memaki-maki, mengejek, melecehkan, memarahi, memelototi, dan membentak. Kekerasan fisik memperlihatkan kontak fisik antara pelaku dan korban, mulai dari yang sifatnya ‘ringan’ seperti menoyor dan mencubit, sampai yang sifatnya ‘berat’ seperti memukuli dan mengeroyok. Kekerasan fisik bisa melibatkan senjata (seperti menembak dan menikam) atau dilakukan dengan tangan kosong (meninju, menjambak, menampar).

Ekspresi kekerasan verbal (56%) mendominasi adegan kekerasan dalam sinetron remaja. Ekspresi verbal muncul dari kata-kata atau lisan dalam adegan kekerasan.

Motif kekerasan yang disengaja (90%)
Pelaku adegan kekerasan lebih banyak laki-laki (52%) dibanding perempuan (46%).
Pelaku kekerasan nyaris seluruhnya didominasi oleh laki-laki; kecuali, kekerasan relasional yang didominasi oleh peran pembantu perempuan (34%). Berbicara tentang siapa korbannya, laki-laki ternyata juga menjadi korban dengan frekuensi terbanyak. Korban kekerasan fisik terbanyak justru pemeran pembantu laki-laki (32%).

Demikian juga kekerasan finansial yang mengambil korban terbanyak pemeran utama laki-laki (36%).
Perempuan menjadi korban terbanyak dalam adegan kekerasan psikologis (39%), kekerasan spiritual (33%), kekerasan relasional (33%), dan kekerasan seksual (35%).
Hal lain yang patut menjadi perhatian adalah tingginya persentase kekerasan seksual yang dilakukan oleh remaja (68%), kekerasan relasional (62.99%), juga kekerasan spiritual (90.91%)..
Dilihat dari aspek motif kekerasan, remaja mendominasi kekerasan yang disengaja (52.08%) maupun kekerasan yang tidak disengaja (58.36%).

B. Tragedi Mistik dan Supranatural dalam Sinetron Remaja
Adegan mistik yang muncul dalam sinetron kita didominasi dengan visualisasi (76%), yaitu penampakan makhluk mistik. Penampakan ini tidak selalu hantu, tetapi bisa juga berbentuk peri, puteri duyung, bidadari, dan lain-lain.

Ternyata, makhluk gaib merupakan karakter yang paling sering dimunculkan (55%). Pemuka agama hanya muncul dalam beberapa adegan sehingga angkanya tidak cukup signifikan untuk dimasukkan dalam grafik pie ini.

Manusia yang terlibat dalam adegan mistik (43%) lazimnya muncul dalam adegan-adegan yang memperlihatkan interaksi antara manusia dengan makhluk mistik

C. Adegan Seks dalam Sinetron Remaja Indonesia
Adegan seks yang ditemukan dalam sinetron remaja Indonesia sebagian besar berpusat pada ‘hubungan seks’ (57%). Adegannya memang tidak secara langsung memperlihatkan hubungan seks, namun shot pembukanya sudah cukup mengasosiasikan bahwa hubungan tersebut (akan) terjadi. Selanjutnya, adegan ciuman (18%), pemerkosaan (12%), dan kata-kata cabul (10%). Biar sedikit, ditemukan juga adegan telanjang (2%) dan seks menyimpang (1%).

D. Moralitas Sinetron Remaja Indonesia
Hasil identifikasi tersebut memperlihatkan bahwa sinetron remaja kita memang didominasi oleh adegan yang tidak sesuai dengan moralitas (86%). Adegan yang sesuai dengan moralitas (seperti menolong teman, menghormati orangtua, bersikap sopan, berdoa) hanya ditemukan tak lebih dari 14%. (Source www.ratnaariani.wordpress.com)

Menyedihkan Bukan?? lihat perbandingannya 86 : 14, sungguh nilai yang jauh dari balance.

Peran TV yang seharusnya menjadi salah satu media pendidik telah mengalami reduksi total hingga hampir saja tak menyisakan sedikit ruang manfaat bagi penikmatnya. hal ini perlu penyikapan yang serius dari pihak yang berkompeten terutama KPI, juga mungkin perlu di rilis UU etika Program TV, selain itu peran keluarga terutama orang tua sangat penting untuk membendung pengaruh buruk dari acara-acara TV, misalnya dengan mendampigi anak ketika menonton TV, menetapkan aturan jam menonton untuk anak (jadi anak tidak bebas menonton segala macam acara), juga perlu di berikan dasar-dasar agama yang baik kepada anak.

sebenernya masih ada juga TV yang ‘agak’ punya komitmen pada perbaikan seperti MetroTV, namun kadang juga menjadi lahan yang bias politik. acara yang bernilai educative dan aku suka di station ini seperti Kick Andy, Oprah, National Geographic, Biography dan Nanny 911. di statiun lain hanya ada satu sinetron yang menarik menurutku itupun hanya di tayangkan karena Romadhan “Para Pencari Tuhan”. sinetron ini lebih beraliran realis, tidak banyak mengobral mimpi dan glamour, juga sering di selipkan komedi-komedi yang mengandung hikmah. sarat juga dengan dakwah-dakwah ringan dan ‘merakyat’. mungkin masih ada juga acara-acara lain yang bersifat educative yang tidak aku tahu, tapi tetap saja aku yakin prosentasinya sangat kecil di banding kan dengan yang non-edukative tadi.

dari sekarang aku bertekad kalau punya anak nanti aku akan sangat membatasi jam menonton untuk anak-anakku, atau kalau perlu aku enyahkan kotak hitam (TV-red) itu dari rumahku :) sampai anak-anakku cukup siap menyikapi tontonan2 yang ‘destructuve’ itu, karena aku tidak ingin generasiku rusak karena tontonan2 yang tidak bertanggung jawab.


Tidak ada komentar: