Selasa, 16 September 2008

~ Tragedi Dhuafa ~


Hari ini seluruh media di banjiri dengan peristiwa tragis negeri ini “Antre Zakat, 21 Tewas” demikian salah satu media cetak memampang headlinenya. kejadian ini bisa di bilang sebuah tragedi duafa, meninggalkan 21 orang kaum dhuafa ketika sedang mengantri zakat di rumah kediaman Hj. Syaichon di Jl. Dr. Wahidin Sudirohusodo, kota Pasuruan Jawa timur, nait yang mulia tersebut harus berakhir bencana dan menelan korban sampai 21 orang karena terinjak-injak ketika sedang mengantri.

peristiwa ini sangat tragis dan memilukan hati, betapa tidak? uang yang di bagikan hanyalah sebesar Rp. 30.000,- tapi mereka harus meregang nyawa demi mendapatkannya. tentunya mereka tak akan rela menukar dirinya dengan uang sebesar itu namun kemiskinan membuat merka begitu gigih memperjuangkannya bahkan datang dari pelosok desa.

baru beberapa bulan yang lalu kita mendengar keluarga yang meninggal di makasar karena kelaparan, juga sering berseliweran berita pembunuhan TKW kita di luar negeri, sumber utamanya hanya satu yaitu kemiskinan. berapa lama lagi negeri ini akan di sergap penyakit yang berbahaya bernama Kemiskinan ini? kemiskinan demikian buas memangsa mereka yang lemah, melindas siapa saja yang tak mampu melawannya? menindas jiwa-jiwa ringkih yang kesakitan.

aku terhenyak, terdiam sesaat rasa nyeri melihat kejadian ini, namun tentu saja hal itu tidak akan cukup untuk menyesali kondisi negeri ini. aku ingin melihat bebrapa pelajaran yang bisa kita petik dari kejadian ini, sebenarnya ini bukan yang pertama, menurut berita yang di lansir media sejak tahun 75 Hj. Syaichon memang sudah terbiasa membagi-bagikan zakat di depan rumahnya, walau tidak sampai jatuh korban meninggal tetapi sudah pernah ada beberapa yang pingsan, namun rupanya ini tidak menjadi perhatian serius baik bagi penyelenggara maupun pemerintah sekitar untuk mengantisipasinya.

paradoks di negeri ini
jelas sekali bahwa kejadian ini menjadi potret kemiskinan negeri ini, bayangkan demi uang 30.000 ribuan orang rela mengantri, berdesakan, bahkan sampai kehilangan nyawa, hal ini tidak akan di lakukan klo uang itu tidak sangat berharga bagi mereka. mungkin demi mengganjal perut sesaat keluarga mereka uang itu akan sangat berarti. dan ini menimbulkan paradoks yang nyata, satu sisi kita mendengar argumen pemerintah dari data statistik bahwa angka kemiskinan semakin menurun, tetapi kalau kita melihat relita yang ada sebelum kejadian ini ada seorang warga makasar juga maninggal karena kelaparan juga banyaknya angka balita gizi buruk di mana-mana, maka perlu di pertanyakan apakah data statistik itu sudah mewakili realita yang ada di lapangan? paradoks lainnya adalah di tengah potret-potret kemiskinan yang ada, masih ada saja petinggi kita yang dengan tega hati merampas uang rakyat dengan korupsi, juga masih tega menuntut naik gaji dan fasilitas yang berlebih. kenapa belum juga timbul empaty mereka melihat realitas-realitas ini?

mis-management
cara Hj. Syaichoni membagikan zakat bisa di bilang copy paste dari program BLT pemerintah, hanya saja untuk program pemerintah ada manajemen yang sedikit lebih teratur, tetapi kedua-duanya hanya penawar ‘candu’ sesaat dan sebuah manajemen yang kurang tepat. tentu saja membagikan rezki kepada mereka yang tidak mampu adalah hal yang mulia, tetapi akan lebih baik jika di imbangi juga dengan managemen yang lebih terarah. seandainya Hj. Syaichoni ini menyerahkan zakat itu melalui Baznaz atau lembaga amil zakat lainnya maka kejadian ini bisa di hindari juga pengguna’annya akan lebih future oriented. dan kalaupun beliau memang tetap ingin memberikan nya secara langsung akan lebih baik kalau beliau berkenan mendatangi rumah mereka yang di beri zakat. atau jika memang harus membagikan di rumahnya setidaknya di antisipasi dengan menciptakan sistem yang teratur juga dengan melengkapi jumlah aparat juga petugas yang memadai, tentunya pengalaman sebelumnya bisa di jadikan pengalaman untuk mengambil tindakna antisipatif.

Poor Culture
beberapa minggu yang lalu teman-teman Britzone mengadakan talk show dengan key-note speaker seorang warga Negara Inggris, karena ada yang bertanya tentang kaitannya bahasa dan culture maka waktu itu dia menjelaskan beberapa culture orang Inggris, dan yang pertama di ulas adalah budaya antri. di Inggris sana menyela antrian akan di anggap hal yang sangat tidak sopan, dan bisa mendapat label ‘bad’ dari orang lain. makanya orang Inggris sangat mengharagai budaya antri, bukan Inggris saja tetapi mayoritas Negara barat sangat menjunjung budaya ini.

dari kejadian ini kita melihat budaya kita yang sangat tidak di siplin, tidak teratur, terlepas dari basic of need karena kemiskinan mereka, di negeri ini memang masih sulit sekali untuk menerapkan budaya antri dan budaya mendahulukan orang lain. tidak hanya di antrian ketika pembagian zakat, di jalan kita sering melihat bagaimana motor-motor saling serobot tidak lagi mengindahkan lalu lintas, bahkan sering membahayakan pengendara lain, bahkan di antrian kamar mandi ketika sedang mabit aku sering melihat kejadian ‘serobot antrian’ seperti ini.


padahal yang punya anjuran untuk selalu disiplin, teratur, dan mendahulukan orang lain itu adalah agama kita, tetapi kenapa justru orang barat yang mewarisinya? salah satu filosopi sholat adalah sebuah kedisiplinan waktu, dan salah satu pelajaran dari keteraturan susunan shaf dalam sholat adalah keteraturan dalam kehidupan kita termasuk budaya antri tadi. dan untuk mendahulukan orang lain, rosulullah SAW pernah bersabda bahwa barang siapa yang bisa tidur sementara tetangganya kelaparan maka tidak sempurna imannya, juga sabda rosulullah SAW untuk mencintai saudara kita sebagaimana kita mencintai diri kita sendiri, dan banyak lagi hadis atau contoh yang lain baik dari rosullullah, sahabat ataupun tabi’in. tapi justru ajaran mendasar ini belum mampu kita terapkan di negeri kita yang mayoritas muslim .


Tidak ada komentar: