Jumat, 22 Agustus 2008

~ Ahmad Namanya ~

aku masih menatap wajah kusam dan sayu itu, di atas dipan bambu satu-satunya dipan di rumahnya aku terduduk menatap ujung-ujung kakiku. ada rasa bersalah, haru menyelinap di antara ceritanya yang seolah tanpa derita dengan realita yang membuatku trenyuh. hampir tiga tahun aku bersahabat baru kali ini aku menyempatkan diri menemui dia di rumahnya itupun karena aku akan pergi jauh, ke Jakarta mengejar cita-citaku..

pandangan mataku kembali menyelusuri rumah papan dan lantai tanah dengan perabotan Nir-lux itu, sebuah meja kayu di tengah ruangan di hiasi dengan lampu teplok di atasnya, sebuah gambar orang berjanggut menggelantung di salah satu sisi didiing papan yang banyak di hiasi sarang laba-laba, tidak ada lemari, tidak ada Tv ataupun alat elektronik lainnya. dalam hati aku mengutuki diri, mengapa tidak sedari dulu aku tahu kondisi sahabatku ini. keceriaannya di sekolah telah berhasil menipu ku dan teman-temanku.

Ahmad, nama lelaki itu berusia 17 tahun ketika dia berada di persimangan jalan masa depannya, tinggal di rumah papan reyot yang kini ku kunjungi, bekerja sebagai kuli karet untuk membiayai sekolahnya. aku baru ingat celana dan baju sekolahnya yang dekil yang tak jarang di padu dengan ‘batik’ dari getah karet di sana-sini. tapi Ahmad anak yang ceria, dia bahkan sama sekali tidak pernah mengeluh dengan keadaanya.

Ahmad juga tidak pernah cerita padaku juga teman-teman kalau dia bekerja untuk sekolahnya. seandainya itu terjadi pada Imam yang juga temanku sekelas, aku tidak akan begitu perduli, tetapi Ahmad adalah Einstein di Kelasku, kelas III IPA. kelas yang di anggap berpenghuni para otak encer, meski tak seluruhnya benar. tapi dialah pemegang juara bertahan selama di kelas ini, bahkan tak ada satupun yang bisa mengalahkan prestasinya di kelas ku.

Ahmad Genius, begitulah aku memanggilnya, walau mungkin dia belum selevel siswa Genius di Xaverius, sekolah paling elit di ibukota propinsiku. tapi Ahmad paling genius di antara teman-teman satu kelasku bahkan di saentoro sekolahku. aku menyaksikan sendiri bagaimana dia dengan begitu lincah menguraikan hukum pascal, boyle, Newton atau relativitas Einstein, dalam study kasus untuk menemukan rincian-rincian rumus baru. aku juga menyaksikan ketika dia harus membantu pak Pomo guru matematika kami yang pernah kesulitan menyelesaikan soal-soal Integral di depan kelas. juga dia yang selalu pertama kali mengerjakan soal-soal fisika di pepan tulis, bahkan dia sering berlomba memcahkan soal dengan pak Madali guru Fisika kami.

Ahmad adalah cahaya di kelas IPA kami, setidaknya kelas yang paling di segani karena selalu berkutat dengan rumus dan teori. kelas yang di anggap paling ‘keren’ di antara jurusan lain. dan aku lah ‘sekertaris’ nya ketika dia bereksperimen memecahkan soal-soal ‘ala Einstein’ itu. aku bahkan sulit mengikuti kecepatan nalarnya, kepandaiannya menyimpulkan masalah, untuk kemudian menjalin relasi dengan teori dan menurunkan rumus. itulah Ahmad teman kami yang miskin ini.

“aku akan berangkat ke Jakarta besok mad” ucapku padanya di pagi itu
“mau kuliah ya?” jawabnya seakan ada semangat yang kian luntur dari otak brilliant itu
“mudah-mudahan, aku akan berjuang dulu, setidaknya aku punya akses tuk meneruskan kuliah”
“gimana kabar PMDK mu?”
“aku sudah datang ke rumah pak KepSep menanyakan hal ini, katanya belum ada pengumuman, aku sangsi mungkin aku ga lolos”
“kamu sendiri apa rencanamu?” kataku balik bertanya
”aku tidak tahu, tapi sepertinya aku tidak bisa kuliah lagi”
aku hanya menghela nafas berat, melihat kekecewaan yang tampak nyata di mata temanku ini,tapi aku tak bisa berbuat banyak
“kenapa kamu ga ikut PMDK juga waktu itu?” kamu pasti lolos” tanyaku mencoba merangkai harapan yang telah rapuh
“sebenernya impianku ingin kuliah di UGM jurusan MIPA, di samping sekolah kita tidak dapat jatah PMDK dari sana karena reputasi yang tidak baik dari kakak kelas kita sebelumnya, aku tidak tahu bagaimana aku dapat biaya kalaupun aku di terima” jawabnya sedemikian pasrah
“tapi kamu khan bisa cari biasiswa nantinya”
“kamu tidak tahu keadaanku teman, aku harus membantu menghidupi keluargaku” jawabnya mencoba menyembunyikan riak wajahnya yang kian murung
aku tak bisa lagi memaksakan pendapatku agar dia kuliah karena memang aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantunya. aku tahu Ahmad sangat ingin kuliah, dia ingin masuk fakultas MIPA, bahkan dia pernah bilang pingin membangun indonesia dengan teknologi temuannya, dia sangat mengidolakan Habibie, dia pengagum Einstein. namun semua itu adalah mimpi yang harus di kuburnya dalam-dalam. suatu kenyataan yang tragis ‘Einsten’ di kelas ku itu tidak bisa meneruskan sekolahnya di bangku kuliah lambat laun mimpinya untuk menjadi habibie muda di negeri ini akan pudar, hilang, lenyap dan kelak hanya tinggah sepatah kata ‘seandainya’
“aku pulang ya Mad..doakan aku ya..”
“kamu masih punya harapan..” jawabnya seraya tersenyum getir
tak kuat hati menatap lelaki ringkih itu, lelaki pintar yang tak berdaya, lelaki cerdas yang harus terpuruk dalam mimpi nya.

aku melangkah meninggalkan rumah kecil itu, ku tatap sekali lagi sahabatku yang kusam dengan wajah kuyu dengan tatapan tak pasti, tak pasti dengan masa depannya, tak pasti dengan mimpi yang menghantuinya.

***
sepuluh tahun aku meninggalkan desaku. sebuah desa kecil di kabupaten tebo propinsi jambi. kini aku sudah menyandang gelar sarjana sejak dua tahun yang lalu, meski impian idealku untuk masuk fakultas MIPA harus aku kubur dalam-dalam juga karena faktor biaya, tetapi aku jauh lebih beruntung dari Ahmad sahabatku. meski akupun harus kuliah sambil bekerja, meski hasil kuliahkupun tidak optimal..meski dan meski...lainnya tapi aku masih punya banyak harapan, aku masih punya banyak peluang untuk bisa meneruskan ke jenjang berikutnya, atau berkarir...sedang Ahmad?? mungkin saat ini dia masih tetap menjadi kuli di kebun karet tetangganya, atau mungkin kini dia juga masih susah payah menghidupi keluarga barunya. ntahlah..aku tak pernah lagi mendengar tentangnya sejak pertemuan terakhir itu..

seandainya saja dia mampu meneruskan kuliah mungkin tidak akan susah baginya mencari biasiswa bahkan sampai jenjang S2 atau S3 karena aku tahu kecerdasannya. bahkan mungkin dia bisa mewujudkan angannya untuk menjadi ‘revolusioner’ muda di negeri ini

Ahmad sahabat SMA-ku hanyalah satu dari sekian banyak anak-anak briliant yang tidak mampu di sekolah, mereka mungkin ada di pelosok desa yang sedang sibuk mencangkul di ladang, atau menjadi kuli panggul, mereka mungkin ada di lorong-lorong gang kecil, atau mereka mungkin ada di lapak-lapak pemulung, dan ntah di mana lagi..

sedangkan di sana..di sekolah-sekolah mereka yang dengan bangga hati di sekolahkan orang tuanya, justru membunuh waktu dengan tawuran, dengan nongkrong di jalanan. sungguh ironis. banyak anak yang setengah mati ingin sekolah tetapi tidak mampu, padahal dia cerdas. sedangkan di sisi lain banyak juga anak yang menghamburkan uangnya untuk aktivitas ‘sampingannya’ yang di sebut sekolah itu.

Tidak ada komentar: