Rabu, 06 Agustus 2008

~ Konsep Emansipasi ku ~

aku baru saja menyelesaikan membaca buku karya ibu Marwah Daud Ibrahim yang judulnya: “Teknologi Emansipasi dan transedensi. sebenernya buku ini sudah terbit lama dan juga berisi kumpulan Makalah-makalah, artikel ataupun catatan dari Ibu marwad yang diedit oleh Bapak Yudi Latif.

sebenernya aku ga telalu tau banyak tentang sosok wanita kelahiran Sopeng 8 November 1956 ini, selain pengetahuanku bahwa beliau adalah seorang Anggota DPR, dan seorang Doktor di bidang komunikasi Internasional American University. dan setelah searching di Internet akhirnya aku baru mengetahui bahwa beliau adalah salah satu sosok wanita ‘perkasa’ di negeri ini. dari sejarah hidupnya yang bergelimang perjuangan dan prestasi, pernah terpilih menjadi siswa teladan se-sulawesi selatan tahun 1974 dan juga terpilih menjadi mahasiswa teladan se-sulsel semasa di UNHAS, prestasi ini yang mengantarkannya mendapat Beasiswa dari American University, Washington DC untuk program master komunikasi internasional, dan mendapat biasiswa dr PRof. Dr. BJ. Habibie di Universitas yang sama untuk program Doktornya. dan pernah dinobatkan sebagai Ibu Favorite Indonesia 2007 Versi Women Radio

selain berotak Briliant beliau juga aktivis salah satu lembaga yang di gelutinya adalah ICMI, dan yang menarik lagi dari sekian prestasinya adalah kepedulian nya akan perkembangan perempuan khususnya di negeri ini. tidak seperti mereka yang menobatkan dirinya pembela kaum wanita dengan menyandang gelar kaum feminist yang sering kali radical dalam tututan pembelaannya, Ibu Marwah cukup ‘anggun’ dalam sepak terjangnya di dunia ‘patriotisme’ untuk kaum perempuan.

dari berbagai artikel dan makalah dalam buku yang aku baca ada sebagian besar pembahasan tentang masalah perempuan,termasuk emansipasi dan feminisme. dan aku mengaminkan pandangan emansipasinya yang lebih logical-sentris. bahwa emansipasi bukan lah harus menuntut segala sesuatu yang sama dari kodrat yang berbeda, namun bukan pula memandang bahwa emansipasi adalah sesuatu yang tabu demi sebuah kerelaan peran wanita yang di asumsikan banyak orang hanya cukup di ranah domestik sphere saja. namun emansipasi dalam konteks kekinian memang sering di salah artikan dan sering berlebihan kadarnya.

beliau menganalogikan hubungan lelaki dan perempuan ibarat sepasang sepatu, yang keduanya sejajar dan sama pentingnya. adalah suatu hal yang aneh ketika kita harus menanyakan bagus mana sepatu sebelah kanan-atau kiri? atau penting mana sepatu sebelah kanan-atau sebelah kiri? karena keduanya memegang peran masing-masing yang sama pentingnya. tentu saja sepatu sebelah kiri ataupun kanan tidak akan ada artinya seberapapun bagusnya ketika tidak ada pasangannya. begitu juga hubungan antara laki-laki dan perempuan. laki-laki dan perempuan adalah patner abadi yang di ciptakan oleh sang Khalik untuk saling melengkapi dengan tanggung jawab yang sama yaitu sebagai khalifah di muka bumi ini. walau harus dengan beberapa perbedaan peran yang sesuai dengan kemampuan masing-masing.

adalah mustahil untuk mengharapkan persamaan mutlak antara laki-laki dan perempuan karena pada hakikatnya mereka berbeda, secara kodrati. persamaan mutlak justru akan menjadi beban bagi perempuan karena by nature wanita dan laki-laki berbeda dari sisi Fisik ataupun Psikologis. laki-laki dan perempuan sama-sama di beri jiwa feminim dan maskulin, Cuma kadarnya berbeda. jika laki2 dominan dengan jiwa maskulinnya, maka perempuan di berikan kelebihan dengan sifat feminim yang dominan. kaduanya di ciptakan agar saling melengkapi kekurangan masing-masing.

perbedaan dua kutub lelaki dan perempuan sudah menjadi perdebatan sejak berabad-abad lalu. dan sejauh ini, sejarah peradaban wanita di hadapkan pada dua realitas yang sangat kontras. realitas pertama adalah keterasingan perempuan dari pentas existensinya yang paling parah adalah di masa jahiliyah, dimana perempuan tidak punya hak sama sekali, baik hak suara, hak waris bahkan hak untuk hidup, dan di masa ini lelakilah penguasa mutlak. sedang realitas kedua adalah realitas permisif (serba boleh) dan kebebasan yang seluas-luasnya. isu utamanya adalah gerakan feminisme yang menuntut persamaan hak dan kedudukan dengan kaum lelaki baik dalam pendidikan, kedudukan, kehormatan dan pekerjaan. extremnya ada bahkan yang menolak peran biologisnya (femisisme radical) sebagai perempuan yang harus melahirkan, menyusui dan mengurus anak.

aku sefaham bahwa sampai sekarangpun masih banyak wanita yang terjajah bukan hanya secara intelektual tetapi juga secara kultural. sebagian besar wanita indonesia khususnya, masih sulit untuk memperoleh pendidikan, bukan hanya karena faktor ekonomi tetapi jg konstruk sosial yang masih melekat di masyarakat bahwa wanita adalah makhluk domestik yang tak lepas dari tugas 3UR nya (dapUR, sumURr, kasUR) sehingga pendidikan di anggap tidak begitu penting bagi wanita. dan struktur sosial kita yang sudah Given, menumbuh suburkan konstruksi sosial bahwa wanita sebagai inferior, subordinate ataupun sekunder.

kondisi inipun yang kemudian memunculkan bias opini baru yang berkembang di masyarakat. satu opini ‘extrem’ yang menganggap wanita yang bekerja di rumah adalah inferior, sekunder dan marginal sehingga ‘mewajibkan’ wanita untuk berperan aktive si public sphere, sebagai salah satu saham lahirnya konsep emansipasi kekinian yang melampaui batas.

sepertinya permasalahan tentang wanita masih akan menjadi sejarah panjang selama masih ada pihak yang merasa ‘the domninee” dan ada yang merasa sebagai ‘the dominator’. namun saya hanya akan merefrensikan beberapa hal berkenaan dengan penghargaan exsistensi perempuan dan mengeliminir stigma ataupun bias stigma ‘inferior’ pada perempuan:

1. Self awarness
penghargaan pada perempuan harus di mulai dari kesadaran pada diri perempuan itu sendiri, hal ini harus di mulai dari kesadaran perempuan akan pentingnya eksitensi dirinya, bahwa keberadaan perempuan adalah organ yang vital dalam sirkulasi kehidupan di bumi ini. karena dari rahim perempuan lahir tokoh2 pembangun dunia, juga dari rahim perempuan bisa lahir tokoh penghancur dunia, perempuan adalah makhluk yang menempati posisi paling stategis dalam pembentukan generasi di bumi ini. dengan kesadaran ini maka perempuan akan merasa sangat berarti keberadaannya terlepas dari peran apapun yang di jalaninya. disini juga perlu konstruksi pemahaman peran, bahwa peran alami yang di berikan kepada wanita sebagai ibu rumah tangga bukan lah peran yang inferior tapi justru peran yang significant.


2. self empowerment
pemberdayaan ini pertama2 harus di sentuh dari segi pendidikan. setelah menyadari keberadaannya maka perempuan mulai menyadari tugasnya dan mulai menyusun strategi untuk melaksanakan tugas tsb. karena itu menurutku pendidikan perempuan sangat lah penting bukan dalam rangka ingin ‘merebut’ posisi laki-laki di berbagai bidang tapi justru untuk memantapkan peran strategisnya yang utama sebagai seorang generation creator, first educator, sampai menjadi pillar of Nation. dengan pendidikan juga akan menaikkan posisi tawar (bargaining power) perempuan dalam rangka mendekonstruksi stigma ‘ketidak berdayaan’ perempuan. dalam hal pendidikan formal memang ini harus melibatkan lembaga dan sistem baik dari keluarga sampai ke negara, tetapi pendidikan tidak melulu harus duduk di kelas atau ruang kuliah, membaca koran yang tercecer di jalanpun bisa termasuk mencari pendidikan, karena kita bisa belajar atau di didik oleh siapa saja yang kita temui, apa saja yang kita baca. intinya adalah bagaimana perempuan bisa membuka cakrawala fikirnya tentang keberadaannya juga mampu ‘sejajar’ dengan perkembangan dunia di sekitarnya.

3. self appreciaton
hal ini penting, karena sering kali perempuan justru mendekonstruksi kediriannya dengan caranya menghargai dirinya. saat ini ketika bicara tentang perempuan, tidak akan pernah jauh dari hal2 yang bersifat kebenda’an, seperti penampian fisik, kecantikan, etc. lihat saja majalah, koran, atau media, hampir setiap detik setiap waktu akan di hiasi oleh wajah cantik perempuan dengan berbagai style yang sebagian besar berhubungan dengan entairtainment, atau advertisement yang mengagungkan fisik atau kebendaan. di media jarang sekali perempuan di tampilkan karena prestasinya, karena kepandaiannya, atau kecerdasaannya, kalaupun ada porsinya masih sangat kecil. memang ini sumbangsih konstruksi sosial tadi yang melahirkan exploitasi perempuan secara samar. tetapi hal ini juga berawal dari sisi si perempuan sendiri yang senang jika di hargai karena faktor fisiknya, bukan karena potensinya. di sinilah perlu di tanamkan self appreciation, atau penghargaan pada diri sendiri, bahwa wanita di ciptakan bukan sebagai ‘magnet pemikat’ yang suka di ekpolitasi bagian2 fisiknya tetapi wanita juga harus menghargai dirinya sebagai aset berharga bagi peradaban dunia ini dengan kemampuannya potensinya dan prestasinya.

dan emansipasi harus di maknai sebagai usaha untuk memaksimalkan potensi perempuan yang merupakan bagian dari khalifah di bumi ini seperti halnya laki-laki. perempuan haruslah cerdas jika tidak mau menjadi idle karena di manapun perempuan berkiprah di situlah ranah strategis untuk menyemai benih ‘eksistensinya’, perempuan bisa ‘berprestasi’ di bidang apapun yang di geluti baik sebagai ibu rumah tangga maupun peran-peran publik lainnya.

perempuan bisa jadi peneliti, politisi, akademisi, tanpa harus melepas tanggung jawab kediriannya sebagai ‘perempuan’, seperti menjadi ibu rumah tangga atau pendamping setia untuk perkembangan anak-anaknya. jika ini di anggap sebagai double burden maka perlu di pertanyakan seperti apa perempuan ingin di akui eksistensinya? apakah harus bertukar posisi, lelaki yang mengandung dan melahirkan? tentu mustahil. artinya perempuan juga harus konsisten dan bertanggung jawab dengan pilihannya. seperti halnya lelaki yang tidak bisa menuntut cuti haid dan cuti hamil perempuanpun tak bisa menuntut laki-laki untuk mengandung dan melahirkan (hehe)

~ just an opinion ~

Tidak ada komentar: