Kamis, 10 Juli 2008

:: Antara Dua Hati ::


Antara Dua Hati

Sudut Bus Malam
Sejak sore kemarin aku berada dalam bus Ac ini, sendiri berada dalam bus memang hal yang membosankan, tidak ada teman bicara hanya menambah kesunyian hati. aku lemparkan pandangan ke luar, ku perhatikan pepohonan yang hijau yang seolah mengerti kegundahanku, ku lihat juga fatamorgana yang ada di depan, seolah bisa di jangkau, tapi jauh ketika hendak di sapa. Aku larut dalam lamunan dan sejuta hayalan di masa lalu, aku berandai-andai sendiri penuh penyesalan, luka, pedih. Sesekali juga bahagia, jika teringat episode lucunya. Sekali lagi kata-kataku terhenti ketika mengingat kalau hal itu akan sulit untuk ku lanjutkan, baik bagi diriku pribadi ataupun bagi dirinya, O mengapa semua ini harus ada? terlintas sesosok bayangan maya yang akhir-akhir ini mengisi ruang hatiku, menikam erat di dinding kalbu, kalau saja dia tidak pernah hadir dalam duniaku, mungkin aku tidak seberat ini untuk menerima tawaran orang tuaku, mungkin aku dengan gampangnya mengatakan iya kepada mereka, aku tidak tahu pasti apa jawabanku nanti ketika bertemu dengan mereka.
Perlahan siang mulai menyapa malam, ku perhatikan dari jendela bus, matahari perlahan-lahan meninggalkanku dalam gelap, seperti gelapnya hatiku saat ini. “Ah… Robb, aku tidak punya tempat untuk mengadu selain kepada-Mu, aku juga tidak punya tempat untuk mengeluarkan semua isi hati selain kepada-Mu, dan aku yakin semua ini adalah takdir yang telah Kau tetapkan untukku, aku yakin cahaya itu akan datang menemuiku” itu bagian lirih doa hatiku. Bus terus melaju sementara penumpang yang lainnya hanyut dalam mimpi indah.

Sudut Rumah Tua
Sepuluh tahun yang lalu aku di sini, terakhir ketika aku masih SD, tanpa terasa kini usiaku jauh menginjak remaja, bahkan bisa di katakan dewasa, ada rasa malu kalau-kalau ketemu teman lama yang sudah berkeluarga, atau sudah punya buah hati. “Fen…, kapan sampai dari Jakarta? Wah sudah jadi orang penting ya di sana, ajak-ajak dong”, “tadi pagi Rin…”, aku merasakan suasana akrab padahal sudah 10 tahun tidak bertemu dengan Rini, temanku waktu di SD dulu. Aku sedikit kaget melihat Rini menggendong anak kecil, dan satu laginya memegang tangan kanan Rini. “Sudah berapa anakmu Rin?”, tanyaku polos, “baru dua Fen, ini yang paling besar 2 tahun, Ali namanya, ini yang kecil baru 7 bulan, Aisyah” papar Rini dengan wajah sumringah seakan memaparkan kebahagiaan yang dia miliki bersama keluarganya. ”Wah nama yang bagus, nanti main kerumah ya”. Aku terus berjalan menuju rumah tua itu, tempat aku di besarkan. Sekali lagi aku dikejutkan dengan sapaan seseorang, “Fen…, kapan sampai? Ruri juga teman SD ku. “Wah udah jadi orang kota ya sekarang, tidak seperti kami, masih di sini saja, anak desa, mm..suami mu mana Fen?? Deggh…, aku kaget setengah mati, sedikit gagap ku jawab sembari menutupi gundah di hati “Masih di Ujung Rur...Di ujung Doa hehe, jawabku berusaha mencairkan suasana hatiku , do’akan aja ya”.
Memang sangat berbeda kehidupan kota dengan di desa, di sini gadis seusiaku sudah terbilang langka, bahkan adek kelas ku yang lima tahun lebih muda saja sudah duluan menikah, mungkin itulah alasan mengapa mereka selalu menjadi Wedding Alarm untuk gadis-gadis seusiaku.
Rasa senang terselip di hati walau bercampur gundah gulana.10 tahun bukan waktu sebentar, tapi seolah baru kemarin saja aku meninggalkan mereka, dan kini aku masih menerima suasana kampung ku yang akrab seperti ini. Aku memang sangat jarang pulang ke kampung ini, karena semenjak SMP aku meneruskan sekolah di Padang dan kemudian Kuliah di Jakarta. Setahun yang lalu Ibu masih tinggal bersamaku di Jakarta, waktu itu ibu masih bersikeras tuk mendampingiku yang masih kuliah sambil berjualan di warung kecil yang kami sewa, dan akhirnya ibu pulang ke kampung atas permintaanku. Sungguh aku tak ingin Ibuku menuai hari tua di kota yang penuh dengan perjuangan itu. Aku ingin ibu benar-benar bisa istirahat di kampung halamanku ini, walau kami jadi jarang ketemu tapi aku berjanji akan sering mengunjunginya, dan tak jarang ibu yang datang ke tempat kost ku di Jakarta.

Sudut Dua Mata
“Assalamu’alaikum….. assalamu’alaikum…..”, belum terdengar sahutan, pintu rumah tidak di kunci, aku langsung saja masuk menuju dapur, ternyata ibu sedang memasak, “Assalamu’alaikum ibu”, “Feni…,? Kok gak kasih kabar dulu, kan bisa di jemput”, Tanya ibu kaget dan langsung memelukku, dengan penuh cinta ku cium tangan Ibu. Tak terasa bulir bening mengalir di pipiku, ketika menatap wajah lembut dan penuh kasih itu, rasanya sangat tak tega mengecewakan apalagi menyakitinya, wajah tulus yang selalu kurindukan, bahkan sangat ingin hati ini membahagiakannya “Sengaja bu, biar ibu tidak repot-repot”. Jawabku sambil menurunkan tas ransel ku, dan mengeluarkan oleh-oleh kesukaan Ibu“o ya Gimana Fen tentang tawaran dari ibu, udah di pikirkan matang-matang belum? ibu dah ga sabar pingin denger jawaban Feni“ , “duh ibu…. Feni kan baru sampai, nantilah ceritanya”. Balasku pelan seraya menuju kamar mungil yang udah lama ku tinggalkan. “Kemarin ibunya Fahmi datang lagi Fen, menanyakan jawaban Feni, ya ibu jawab saja, kalau Feni sekarang masih sibuk dengan pekerjaannya jadi belum bisa membuat keputusan, dan ibunya Fahmi berharap besar dengan Feni, kalau ibu seh terserah Feni saja, bagi ibu yang penting Feni bahagia, itu sudah cukup bagi ibu”. Suara Ibu yang biasanya meneduhkan hati ku itu sesaat terasa seperti genderang yang memekakkan telingaku, bahkan kepalaku mulai berdenyut, aliran darahku seakan bergerak semakin cepat, O Ibu seandainya engkau tahu kebimbanganku “Iya bu… tapi nantilah kita lanjutkan ceritanya ya…, Feni kan masih capek bu,Feni Istirahat dulu ya Bu“. “Iya, maafkan Ibu..Ibu terlalu Gembira melihat kamu pulang“ Ibu membelai lembut pipiku, aku hampir saja tak kuasa menahan Airmata yang membendung di sudut mataku, Aku memahami kata-kata ibu barusan, ibu sebenarnya bukan hanya ingin aku cepat menikah, tapi juga ingin dengan orang yang sekampung denganku, karena dengan demikian, aku akan bisa menghabiskan hari-hari di kampung bersama ibu, usia ibu sudah 55 tahun, kapan lagi aku akan berbakti pada ibu, Spontan aku teringat kembali dengan sosok itu, aku tidak tahu kenapa aku harus berharap padanya. Dia sahabatku, dia bahkan telah menjadi seorang kakak untuku, dan betapa berat ketika aku harus menerima kenyataan dia menjatuhkan pilihan nya lebih dulu dariku, hatiku benar-benar pedih aku merasa sangat kehilangan. Mengapa baru saat ini aku sadari, saat aku tak mungkin mengungkapkan semua. “Fen, Alhamdulillah kakak sudah menemukan pilihan hati kakak, Insyaallah Bulan depan kakak akan menikah, doakan ya..!“ kata-kata kak Fandi bagaikan petir di siang itu, hatiku terasa begitu sesak mendengarnya, Kak Fandi bahkan tak pernah cerita sedang taaruf, atau dekat dengan seseorang, dan tiba-tiba...
Kak Fandi adalah sahabat yang baik, bahkan ku anggap seperti kakak ku sendiri dia mengajarkan aku banyak hal dan sering membantuku dalam kesulitan tapi kebaikannya tak lebih dari kasih sayang seorang kakak kepada adiknya, aku pun tak menyangka kalau perasaan itu telah berubah dengan sendirinya di hatiku, dan aku baru menyadari ketika Kak Fandi menjatuhkan pilihannya, terasa perih sekali hati ini. Ya Robb apa yang ku rasakan? Harusnya aku bahagia di atas kebahagiaanya, harusnya aku senang karena dia telah menemukan teman perjuangannya. Harapanku telah pupus bersama pupusnya senyumku sore itu. “Kak afwan ya..aku ga bisa datang dipernikahan kakak nanti, karena ada tugas diluar kota yang ga bisa di tinggalkan untuk beberapa Minggu, semoga di beri keberkahan..“ itulah pesanku terakhir sebelum ku putuskan tuk tidak menemuinya lagi. Bahkan aku tak menghadiri hari yang sangat istimewa buatnya. Aku sungguh tak kuasa menahan pedihnya hatiku, aku tak mengerti kenapa aku sangat merasa kehilangan. Tak kuhiraukan kebingungan Kak Fandi dengan perubahan ku.

Sudut Kamar Mungil
Dalam kamar ini dulu aku tidur bersama kakakku, sekarang kakakku tinggal di Semarang, ikut suaminya, tapi sekalipun di Semarang kakak sering berkunjung ke kampung menjenguk ibu. Sejenak ku kenang masa kecilku, penuh liku suka duka bersama ayah dan ibu sewaktu ayahmasih ada. Banyak kenangan yang telah terukir, banyak nostalgia yang masih terngiang di kepala andai mereka semua tahu apa yang terjadi padaku saat ini. Ya Allah kenapa aku berada di antara dua hal yang sulit untuk ku putuskan, antara dua hati yang pernah memberiku nasehat tentang hidup, antara dua hati yang selalu saja membuatku berarti juga kadang kecewa. Antara dua hati yang mengajarkan aku semakin kenal baik dengan diri ini. Ya Allah, kali ini aku tidak ingin mengecewakan ibu, aku ingin berbakti pada orang tuaku, aku ingin melihat mereka dan keluargaku bahagia, aku tidak ingin mengikuti nafsu yang sedang bermain dalam hatiku. Tapi…. duh Robb, bagaimana…. Engkau yang tahu semuanya, sungguh sulit hati ini untuk memutuskan, akankah ku kecewakan ibu tuk kesekian kalinya, atau aku hentikan anganku dan berusaha menjadi istri yang terbaik bagi suamiku. Selang dua rakaat shalat istikharah, aku tertidur di atas sajadahku.
“Fen, bersabar itu baik,.… bersyukurlah dengan nikmat Allah ini, kenapa harus menunggu orang yang sudah tidak di takdirkan untukmu, kenapa Fen….,. Apakah Feni akan selamanya seperti ini, tenggelam dalam angan yang tak pasti, Ingat Fen waktu akan terus bergulir menggilas siapa saja yang tak siap dengan kenyataan, dan tak ada toleransi dengan penyesalan. Apa yang feni pikirkan adalah bisikan syetan semata, karena memikirkannya pun suatu dosa, dia bukan hak mu Fen, dia bukan siapa-siapa.
”tapi Vi..sulit sekali melupakan perasaan ini, aku juga ga tahu mengapa aku berharap dia yang menjadi calon suamiku, bukan pilihan ibu..”
”Feni sayang, apa yang kita anggap baik belum tentu baik buat kita, begitupun sebaliknya. Fandi bukan siapa-siapa, dia cuma manusia biasa fen, tak pantas untuk kau kagumi seperti itu, kagumilah Dia yang memberikan segala kelebihan padanya, dan Fandi sudah menentukan pilihannya dan itu bukan kamu. Masih kah kamu pertahankan perasaan yang kamu simpan itu?
”Vi, aku ngerti, Kak Fandi takkan pernah memilihku, tapi tidak dengan hati ini Vi, aku takut nanti mengecewakan suamiku karena tak bisa mencintainya dengan tulus, karena di hatiku masih ada orang lain.
”Allah akan menolong orang yang bersungguh-sungguh menolong agamanya, Niatkan semua karena Allah, niatkan mencintai karena Allah, yakinlah Dia akan memilihkan yang terbaik untukmu. Kekaguamanmu pada Fandi hanya kekaguman fisik yang kasat mata, sementara banyak hal yang tidak mampu kita lihat, jika Allah tidak menakdirkan dia untukmu mungkin dia bukan yang terbaik ...”
Feni yang baik percayalah… Feni pasti bisa”. Tiba-tiba aku tersentak dari tidur, ku lihat masih pukul 2.30... Astafgfirullah mimpi apa aku barusan, apakah ini jawaban dari shalat istikharahku, ya Allah… aku bermimpi bertemu Vivi sahabatku yang sedang kuliah di Sudan dan memberikan nasehat padaku, apakah mimpi barusan petunjuk untukku? Benarkah ya Robb? Benarkah sudah saatnya bagiku untuk maju dan tidak menoleh ke belakang lagi? Benarkah semua ini harus ku hadapi dengan perasaan yang masih bimbang? Benarkah aku bisa melupakannya begitu saja? Benarkah aku akan bisa diam dan membuang perasaan itu jauh-jauh dari hidupku? Benarkah aku akan bisa melakukannya? Duh Robb… ampuni hamba.

Sudut Dua Hati
“Fen.. udah bangun nak?? Ibu memanggilku dari luar kamar, udah jam 6”. “udah bu…” aku menyahut dari dalam sambil membuka pintu kamar. “Bu insyaallah bu…” “insyaallah apa?” Tanya ibunya penasaran. “ya… yang penting insyaallah lah…” canda ku yangmembuat Ibu semakin penasaran. “iya.. tapi insyaallah apanya?, mimpi apa kamu tadi malam, tumben wajahmu ceria begini?” “insyaallah lamaran Fahmi Feni terima”. “ibu gak mimpi kan Fen??” “tidak bu…”jawabku sambil mencubit tangan kiri ibu dan mencium keningnya. Wajah ibuku berseri-seri, tak sabar hati ibuku langsung mengabari kakakku yang berada di Semarang, juga keluarga Fahmi.
***
“Ya Robb, jika memang dia yang kau pilihkan untukku, bukakan jalanku tuk melangkah dalam naungan ridhoMu, mantapkan hati tuk memilihnya, mendampinginya..bantulah aku tuk mencitainya karenaMu, bantulah aku tuk mengapus rasa yang “tidak halal” untuk ku. Jika dia tidak sempurna jadikan aku penyempurna baginya, satukan kami dalam niat suci ingin mencintai karenaMu, ingin berjuang bersama di jalanMu. Jadikan aku kelak pelabuhan terindah untuk nya..seorang istri yang solehah”. Seiring akhir doaku malam ini, butiran bening semakin deras membasahi sajadahku. Ku terhanyut dalam sujud panjang menyadari semua kesalahan, khilaf, dosa diri, dan berharap cahaya terang dengan langkahku yang akan datang. Robbku…Hanya Engkaulah sebaik-baik penolong..

Tidak ada komentar: