Kamis, 17 Juli 2008

:: Etika Diskusi ::

Aku sering mengeluh kecewa saat membaca email-email yang penuh kemarahan, kata-kata kurang sopan bahkan judge atau tuduhan.

email2 itu sering ku temukan di milist2 diskusi yang padahal banyak di huni oleh kaum intelek. paling tidak bergelar Sarjana atau Master. tetapi diskusi sering kali berujung dengan debat kusir, atau tak jarang saling mencela, bahkan kadang keluar kata2 yang sebenernya tidak pantas di katakan oleh seorang intelek. yang lebih miris lagi milist itu berlabel Islami, bahkan milik mahasiswa yang notabene sedang mengejar ilmu ukhrawi.

kekecewaan ini terkadang aku lontarkan dengan mengirim email counter sebagai usaha kecil menetralisir, tetapi buram budaya diskusi tak cerdas itu sudah mengakar tampaknya, hingga ketika selesai satu topic akan muncul topic baru yang menggoda tuk di debat kusirkan.

perdebatan sering di akibatkan oleh dua idealisme yang berbeda, dua pemahaman yang bersebrangan, atau bahkan dua ideology yang berlainan, yang sering kali di anggap sulit di perbincangkan dengan damai. masih bagus seandainya diskusi itu membuahkan hasil yang bisa di petik, sebagai suatu ilmu baru, atau paling tidak rasa legowo menerima pendapat masing-masing, atau perbedaan yang ada. tapi justru sering kali diskusi2 itu sering berujung dengan ketidak jelasan, berakhir dengan kedongkolan, kemarahan, bahkan pertengkaran.

ironisnya lagi tataran teori dan praktek sering kali tak seimbang, tentunya di berbagai dimensi, praktek seharusnya di sejajarkan sebagai buah dari teori, apa yang di debatkan terkadang justru sering jauh dari dimendi teori yang di realisasikan. ini bisa terlihat dari etika diskusi itu sendiri. Masalah etika, akhlaq adalah hal yang paling mendasar yang di ajarkan apalagi untuk para santri sebelum mengamalkan yang lainnya, tetapi justru sering kali hal ini tanpa di sadari sering tak di indahkan. padahal akhlaq adalah cermin dari kualitas agama seseorang.

bukan beretorika jika aku lebih sering mengatakan bahwa Ilmu tidak cukup membuat orang jadi shalih, karena Ilmu masih dalam tataran teori. sedang untuk menjadi baik/shalih perlu aplikasi teori dalam prakteknya. Ilmu agama sering di samakan seperti ilmu matematika, fisika atau kimia, yang sering di pelajari sebagai tambahan wawasan, atau dalam tataran menyelesaikan perhitungan rumus tanpa aplikasi rumus itu agar menghasilkan suatu temuan. begitu juga dengan Ilmu agama, realita yang banyak terjadi sekarang ini banyak para santri yang belajar Ilmu agama hanya untuk sebuah kebanggaan, mencari pekerjaan, untuk di perdebatkan, bahkan ada yang mencerca atau mempertentangkannya. ada juga yang beranggapan bahwa ini akar dari munculnya modernisasi dalam Islam, pembaharuan yang di tandai dengan kebebasan berfikir, berij’tihad dsb sebagai jalan keluar dari buramnya wajah Islam saat ini.

di lain pihak sering aku melihat kyai2 kampung, guru ngaji di mushola di pelosok desa yang notabene tak sekaliber mereka2 yang intelek ini, tetapi punya perangai yang jauh lebih santun, senyum yang selalu tersungging. jarang sekali terlihat garang, juga lebih arif ketika menyikapi permasalahan dan perbedaan.

ini memperkuat opini sederhana dalam pemikiranku, bahwa penguasaan ilmu agama bukanlah standar mati bagi ‘keislaman’ seseorang. namun ilmu yang di manifestaikan dalam amalan konkrit yang akan menentukan standard keislaman seseorang yang sangat menentukan kualitas hubungan kita dengan-Nya. dan kualitas hubungan kita dengan Allah sangat menentukan hubungan kita dengan manusia (mu’amalah), termasuk perangai kita, tingkah laku kita juga kedewasaan menghadapi suatu persoalan.

amalan2 yang bebasis niat ikhlas dan ilmu yang benarlah yang menjadi parameter baik tidaknya hubungan tersebut yang secara langsung menentukan kualitas ‘keislaman’ seseorang dimana ahklaq sebagai salah satu output nya.


Wallahu’alam bi shawab

*semoga ke depan akan lahir lebih banyak generasi yang kafaah pemahaman Islamnya dan sebanding dengan ‘keshalihannya’*

Tidak ada komentar: