Kamis, 10 Juli 2008

~ Ivy Leaf ~

Awan tebal masih bergelayut tepat di atas Gunung Loro, indah lekuk tubuh gunung yang sudah tidak lagi menyemburkan larva itu kian bersolek dengan nuansa hijau pepohonan nya.. empat tahun sudah aku tak pernah berkunjung ke sini, Ngargoyoso, sebuah desa di pinggiran sebelah timur kabupaten karang anyar, terletak dekat kaki gunung lawu. Di sinilah aku di lahirkan 28 tahun yang lalu. Suasana kampung ini tak jauh berubah sejak 4 tahun yang lalu sebelum terakhir kali aku pulang ke kampung ini.

Tidak seperti biasanya kepulanganku kali ini karena di telpon oleh kakakku juga karena permintaan ibu, untuk mendiskusikan sesusatu, ah..sesuatu yang sering membuat pusing kepalaku, ntah kenapa mereka tak pernah mau berhenti membujukku untuk ini.

Aku masih terpaku menatap gumpalan awan di jauh sana, bergeming oleh terpaan sang bayu yang menyapa wajahku. Ku nikmati dingin titik-titik embun yang menembus kulitku yang terbalut sweater. Walau sudah memakai jaket tebal, shall, namun masih terasa menggigit dingin di pagi ini. Tatapan ku masih kosong menatap sebongkah batu yang kokoh di seberang bukit sana.

Segerombolan burung tampak ceria menari-nari, menukik dan bercanda, bealih dari ranting ke ranting sambil bernyanyi ceria, seakan menertawakan aku yang terpaku dalam sejuta gundah, ukiran awan itu seakan ingin mengingat kan aku akan gelayut hitam di kalbu ini.

“Anyelir…bagaimana keputusanmu? Suara itu mengagetkan ku.. bergemingpun aku bisa mengenalinya, itu suara mbak atik yang mungkin sejak tadi mengamatiku..
Nyelir..apalagi sih yang kamu pikirkan, kamu sudah mapan, sudah sangat cukup umur, kenapa kamu masih ragu dengan keputusanmu?”

Dengan langkah perlahan Mbak Atik menghampiriku..tangan nya yang lembut memeluk pundakku, ku rasakan hangat kasih sayang kakak keduaku ini, namun aku tetap bergeming, ntah apa yang terpikir namun hati ini terasa ada yang menusuk, pedih yang tak kunjung sirna. Dingin dan beku, seolah menjulang angkuh sekokoh hamparan Es di puncak Everest.

Untuk kesekian kali aku harus menghadapi situasi sulit ini, aku tak tahu bagaimana harus menjelaskan pada mereka tentang hati ini. Yang selalu bergeming sulit tuk di kata dan di jelaskan, dan hanya tak ingin membuat orang kecewa karena bodohnya rasa ini.

Ku coba menatap sejenak wajah kakak ku, ku lihat tatapannya yang penuh harap, penuh kasih sayang.. namun kembali tak sanggup ku berkata-kata, tatapanku kembali terpaku pada segumpal awan itu..

***
imam adalah teman dari SMP ku dan ketika SMA kebetulan kami satu kelas, waktu SMP dia adalah pasangan ku mewakili kelas bila ada lomba cerdas cermat karena kami satu kelas. Sampai SMA kami mengambil jurusan yang sama. Dia teman yang baik, pintar, dan bagus ahlaqnya. Ketika lulus SMA dia meneruskan kuliah di fakultas MIPA di Jogja dan kini menjadi PNS di Jambi, sedang aku mencari kerja, dan akhirnya melanjutkan kuliah di jakarta. Tak ada yang istimewa, bahkan semenjak lulus SMA kami sama sekali tidak pernah berkomunikasi, hanya kabar dia juga teman2 yang lain sering aku denger dari pakde yang kebetulan sama-sama aktif di partai.

Dan beberapa bulan yang lalu kami mengadakan reuni SMA di situlah aku bertemu dengannya, namun satu hal yang tak di duga bahwa dia menyampaikan niat ini kepada mbak atik…

“maaf mbak…aku ga bisa..” jawaban ini seperti meluluhkan semua harapan mbak atik dan ibu, namun mereka hanya terkulai lesu dengan jawaban ini, tanpa alasan yang jelas dariku, dan aku pun tak berniat mengatakan alasanku yang sesungguhnya, aku berhak mengambil keputusan ini, karena ini adalah masa depanku.

Aku kembali ke Jakarta setelah ku anggap semua selesai, episode yang sangat tidak aku sukai dan menegangkan, ku coba meregangkan saraf-saraf di otakku dengan kembali sibuk dengan pekerjaan kantor dan beberapa les privat. Aku cukup bahagia dengan apa yang ku jalani saat ini, sibuk dengan anak-anak didik yang lucu, yang selalu menghiburku..

Beberapa minggu kemudian aku menerima email dengan subjek UNDANGAN, ketika ku buka ,,Degg..!!, Imam telah menjatuhkan pilihannya, aku hanya menatap biru dan bersyukur dia menemukan tambatan hatinya. Dan tak kuhiraukan kicauan mbak atik yang sangat marah dengan kejadian ini, dan mengatakan bahwa aku telah menyakiti Imam..Hh..semua ini tak sedikitpun menggoyahkan keangkuhan di hati ini, terserah mau bilang apa …hanya itu jawabku.

***
“Anyelir…, tadi ada telp dari kak Muti, “, teriak Anggi mengagetkan aku yang sibuk melepas kaos kaki, dah jam 10 malam aku baru sampai di kost, tadi pulang kantor aku langsung ke rumah Via, mengurus beberapa administrasi kursus privat yang kami kelola bersama. “ ada pesan Nggi?” “ iya, besok kamu suruh ke Sekre ada yang penting katanya” Oh..ok deh, thanks yah.”.jawabku singkat sambil melangkah masuk ke surga kecilku, sebuah kamar mungil yang sudah ku sewa lebih dari 5 tahun yang lalu. Entah kenapa aku merasa tempat ini banyak menemaniku, saat sedih, tertawa,hingga seakan mengukir makna tersendiri.

Ku hempaskan tubuhku di atas kasur tua ku, tiba-tiba pandanganku menelusuri setiap sisi dinding kamarku, banyak ku pajang tulisan-tulisan karyaku, walau tak indah setidaknya ini expresi jiwaku, dan potret-potretku, Hmm..aku selalu bangga ketika menatap potret-potret itu, seakan terbayang ketangguhanku saat itu, saat di puncak lawu, saat mengarungi sungai citarik, saat tak ada kerapuhan..

Tiba-tiba ku teringat pesan kak Muti untuk menemui nya di sekre besok,..dada ini kembali bergemuruh, teringat pertemuan beberapa hari yang lalu, dan proses itu ..Duh..mengapa aku selalu di sudutkan dengan situasi seperti ini.? Mengapa tak ada satupun yang mau mengerti aku?..”Nyelir hari Sabtu besok adalah pertemuan terakhir proses ini sekaligus keputusanmu” aku masih ingat kata-kata kak Muti seminggu yang lalu.

***
gimana ending nya?” Tanya Anggi yang sedari tadi tak mau beranjak dari kamarku. ”ending apaan? Mang Film gitu ada ending nya?” jawabku ketus. “Your Decision Honey..”
“Oh..itu..Hmm..I will reject it” jawabku cuex. “What?” Anggi terbelalak tak percaya. “Kamu ga salah?” aku hanya menggelengkan kepala sebagai jawaban.
“nyelir kamu tuh egois ya..kamu hanya memikirkan perasaanmu sendiri, kamu ga pernah berfikir bagaimana keluargamu, dan perasaan orang-orang yang harus menerima keputusanmu seperti ini, !“, aku hanya diam bergeming, namun hati ini kembali bergemuruh tak menentu.
“aku tahu perasaanmu Nyelir, aku mengenalmu sudah lebih dari lima tahun, aku tahu apa yang kamu rasa, tapi aku ga pernah tahu kenapa kamu tak pernah bisa bersikap lebih bijak..” dalam hati aku membenarkan kata-kata Anggi ini, mungkin aku memang egois.
“sampai kapan kamu akan tetap seperti ini?, sampai kapan kamu akan tetap bermimpi? sampai kapan Nyelir..??”
“aku berhak membuat keputusan atas hidupku sendiri” jawabku dingin
“Ok, I know that…, tapi pernah ga kamu berfikir kalau keputusanmu sering melukai banyak orang yang tak bersalah, kamu tuh.. egois Nyelir..!!” sampai kapan kamu bisa melupakan luka itu?, kamu harus realistis Nyelir..kamu ga bisa selamanya bermimpi, suatu saat kamu akan menyesal…” kata-kata Anggi begitu menikam tepat di ulu hati ini, meresap hingga merambah ke saraf-saraf otakku yang memerintahkan mataku kembali memberikan riak anak sungai di setiap sudutnya, menerobos hingga kristal-kristal bening itu mengalir di pipiku, semakin deras, seperti tiga tahun yang lalu saat aku merasakan kepedihan yang jauh lebih menyakitkan dari ini.
“tak semua getir bisa di ungkapkan, tak semua rasa bisa di katakan, tak semua kepedihan bisa di hapus begitu saja” jawabku menahan isak. “, tak kuasa ku rasakan nyeri yang menusuk-nusuk di dada ini, airmata ku pun semakin deras membasahi pipiku.
“maafkan aku Nyelir..aku tak bermaksud melukai mu…aku hanya ingin melihatmu bahagia, kembali ceria, tersenyum…kamu harus melupakan semuanya Nyelir..percayalah kamu bisa..kamu harus mencoba membuka hatimu untuk yang lain…kamu bisa melupakannya..”
Akhirnya Anggi menyadari kalau kata-katanya telah membuatku menangis hingga dia memeluku dan meminta maaf.
“aku hanya ingin melihatmu kembali tegar seperti dulu, jangan engkau bohongi dirimu sendiri..kamu ga pernah bahagia dengan apa yang kamu jalani saat ini…kamu ga bisa selamanya begini…”
“maafkan aku Nggi saat ini aku belum bisa membuat keputusan itu, aku tak ingin kelak aku lebih melukai nya” jawabku lemah, dan akhirnya Anggi pun mengerti.

***
Kak muti terkejut mendengar keputusan terakhirku tentang proses itu, aku sudah menduga sebelumnya, keputusan ini pasti sangat mengejutkan..
“Nyelir kamu ga salah dengan keputusan itu?” Tanya kak muti lembut. “mudah-mudahan tidak Kak”..jawabku pelan tak sanggup menatap kedua mata kak muti. “kalau boleh tahu apa alasan Anyelir menolaknya..?”
aku hanya terdiam tak sanggup berkata-kata, ku biarkan anganku mengembara, tak tahu apa yang akupikirkan.
“apa anyelir sudah Istikharah?” aku hanya menggeleng, “ ga kak karena dari awal hati ku sudah merasa ga sreg jadi aku pikir ga perlu lagi istikharah” jawabku dengan dingin.
“kenapa ga kamu bilang dari awal, lagian apa sih yang kamu cari, kak Indra itu kan senior kita, dan sudah ketahuan reputasinya..kita pun sudah lama mengenalnya.., apa yang membuatmu tak bisa menerimanya?”
aku hanya terdiam tak sanggup ku menjawab,aku sendiri tak tahu apa yang ku cari, ah..betapa sulit mengerti hati ini…

Aku tinggalkan kak Muti yang masih terpaku, tak mengerti dengan sikapku seperti tak mengertinya aku akan hatiku, aku tahu..mungkin aku telah melukai banyak orang, namun luka itu ga seberapa di banding luka yang mungkin akan ada jika aku menerima nya.
Aku melangkah gontai menyusuri jalan setapak di pelataran Masjid Al Bina, rasanya malas langsung pulang ke rumah, di tempat ini aku biasa melepas kesepian dan kesendirianku.
Di ujung sana tak jauh dari pelataran masjid ini, sebuah stadiun sepak bola yang selalu di kelilingi para remaja ketika sore hari, mereka menghabiskan waktu dengan berlari mengelilingi stadiun itu, sambil bercanda mesra, dan banyak anak-anak kecil yang bermain bola, juga remaja-remaja yang ingin menikmati indah sore hari. Terkadang aku tertawa melihat tingkah lucu mereka. Sesaat hati terhibur.
Namun sore ini rasanya tak ingin ku nikmati pemandangan ini, aku hanya terdiam terpaku melihat daun-daun yang berguguran di halaman masjid ini, ku ingin temukan sebuah jawaban tentang apa yang akan di lakukan daun itu ketika telah jatuh ke tanah, tak bisa lagi naik ke pohon, dan akhirnya dia layu, di injak dan membusuk menyatu dengan tanah.
Sisi hati ini menjerit menyaksikan awan mendung di atas sana bergelayut manja menawarkan hujan…
Ya Robb..kapan kah hujan kan datang?...tolonglah aku tuk bisa membuka hati yang telah tertutup ini..”

***

Bagai kapas putih yang terurai
Kini ku melayang…

Alzrie..
The end of the Year 2006

Tidak ada komentar: