Kamis, 03 April 2008

AAC

Akhirnya aku bisa juga nonton AAC, kemarin hasil ‘pemaksaan’ dari my Lodge-mates tak bisa ku tolak walaupun aku tidak mau mengalah untuk lebih dulu menyelesaikan tugas ku bertemu dengan my beloved Teacher J. so sekarang baru bisa neh komen diblog padahal kemarin dah cuap-cuap di milist.(kekekeke…)

****
memang harus jujur diakui kalau film ini tidak semenarik novelnya, dan banyak cerita yang di hilangkan atau di tambah, tetapi harus di akui juga bahwa membuat sebuah film jauh lebih sulit dari menuliskannya dalam sebuah novel, karena novel adalah sebuah deskripsi yang kemudian harus di kejawatahkan dengan gambar dalam sebuah film, tentu saja untuk novel kata2 lebih bisa banyak bicara karena tidak butuh penyajian secara visual sedangkan di film sebaliknya. hal ini yang mungkin sering di korbankan sutradara film dalam mengaktualisasikan novel dalam sebuah gambar bergerak.

dalam karakter pun aku melihat ada improvisasi tersendiri walau kadang lebih ke arah deskontruksi seperti karakter Fachri yang Cool, jadi terkesan gampang Jatuh Cinta sama Maria, juga karakter Maria, gadis koptik periang tapi pemalu dan selalu sopan dalam berbusana di representasikan dengan karakter yang sedikit ‘berani’ dalam hal busana ataupun sikap. juga karakter Aisha yang sangat bijak dibuat lebih ‘membumi’ dengan sifat cemburu nya, masih ada juga hal yang debateable tentang prespective boleh tidaknya seorang pria muslim menikahi gadis non muslim yang juga di angkat dalam karya aslinya, dan agak di ‘samarkan’ dalam film ini, dengan menghilangkan dialog2 Fachri-Aisha pra-pernikahan Fachri-Maria. dan ada juga cerita yang di sinyalir melanggar syariah, seperti pernikahan dalam keadaan koma, juga mengucapkan salam “Assalamu’alaikum” kepada non muslim.

juga bisa di fahami lahirnya kontoversi khususnya mahasiswa Azhar yang merasa sebagai behind the screen-subject dalam film ini, karena memang ada beberapa hal yang mungkin tidak sesuai dengan realita azhar yg melanggar syar’i seperti Fachri yang sering berkhalwat dengan Maria sepulang kuliah atau di tepi sungai Nil, mahasiswi Azhar yang nge-gosip atau kerapuhan mahasiswa azhar ketika menghadapi fitnah. walau pastinya ini mengecewakan bagi sebagian mahasiswa azhar, tetapi titik ini sepertinya yang di ‘korbankan’ mas hanung sebagai special touch agar film ini lebih membumi di tanah air mengingat budaya indo yang masih terentang jarak yang jauh di banding dengan budaya masisir.

bukan dalam rangka mencemooh sebuah karya kalau aku utarakan ketidaksesuaian dan kekurangan di atas, juga bukan dalam rangka pembelaan pelanggaran syar’i jika aku tetap mendukung beredarnya film ini tetapi menurutku ada hal yang significant yang juga harus di apresiasi dalam film ini, di samping bebagai kekurangan yang harus di perbaiki.

walau tidak sempurna dalam merepresentasikan karya aslinya, film ini banyak memberikan pesan moral yang sangat jauh lebih baik jika di banding dengan film-film yang sedang beredar di tanah air saat ini, atau setidaknya ada dakwah yang menurutku cukup berani di film ini dengan menampilkan satu idealisme islam yang nyaris tidak berani di tampilkan oleh film yang lain, walau masih ada idealisme yang seperti ‘terpaksa’ harus di samarkan.

aku sangat senang dengan dialog Fachri dan Alicia, ttg “Women in Islam” dalam film ini. selama ini hanya buku yang bercerita banyak tanpa banyak orang yang sudi mendengarnya karena banyak orang yang justru alergi dengan bacaan yang menurut mereka terlalu “syar’i”. juga aku sangat terkesan ketika Fachri dengan tegas mengatakan kepada Alicia “there is no dating in Islam, we usually do taaruf to find our couple” (tidak ada pacaran dalam Islam, biasanya kami melakukan taaruf untuk mencari pasangan) kurang lebih begitulah dialognya. Asli…selama ini sampai umurku setua ini J aku tidak pernah menemukan (atau aku yang gagap info film? J) ada sebuah film yang dengan berani mengungkapkan salah satu ‘identitas’ islam ini, apalagi di tengah isu Modernitas di mana pacaran di anggap hal yang halal dan wajar tanpa ada rasa bersalah atau berdosa bagi sebagian besar pelakunya. bahkan banyak sinetron yang berlabel islamipun tidak bisa menghilangkan merebaknya faham pacaranisme ini. bagaimanapun film ini adalah salah satu terobosan dakwah yang luar biasa menurutku, karena yang menikmati film ini tidak hanya mereka yang sudah tahu batas2 pergaulan dalam Islam, tetapi banyak dari mereka yang memang setia dengan faham pacaranisme, walaupun mungkin tidak akan berimbas langsung setidaknya ini akan menjadi input yang baik selain implikasi positive yang pastinya sangat kita harapkan.

kalau secara pribadi hikmah yang bisa aku ambil dalam film ini adalah keikhlasan dan pengorbanan, ketika Aisha harus merelakan Fachri untuk menikahi Maria, gadis yang diam2 mencintainya. Aku juga temem2 ku tidak bisa untuk tidak menangis melihat adegan ini, secara hati seorang wanita (cieee..) mana ada yang rela menyuruh suami nya menikah lagi kecuali seorang yang mempunyai tingkat keikhlasan yang tinggi. juga ini tentang pengorbanan yang luar biasa dari seorang wanita yang begitu tegar menyaksikan suaminya menyatakan cinta kepada wanita lain. Asli.. kayaknya aku ga akan sanggup deh untuk bisa seperti Aisha (hehe..) . Di samping itu juga ada pesan secara implicit tentang poligami dalam Islam, bahwa poligami bukan semata2 pelampiasan keinginanan seorang lelaki juga bukan penodaan terhadap hak asasi wanita, tetapi ada saat poligami harus dilakukan sebagai sebuah solusi.

Finally, apresiasiku yang tinggi kepada mas Hanung Bramantyo atas karyanya, semoga tidak berhenti sampai di sini, tetapi diharapkan lebih jauh ada perbaikan dari segi ‘syar’i’ nya. juga semoga ke depan Mas Hanung atau sutradara muslim lainnya lebih berani menampilkan wajah Islam yang sebenarnya melalui karya2 nya, sebagai salah satu ‘dakwah’ yang berani diantara berbagai stigma negative yang menimpa umat Islam belakangan ini. Then..How’s the Next..????

juga tidak mengurangi respect-ku kepada saudara2 ku yang di di Azhar yang sebagian merasa di ‘korbankan’. pesanku jadikan ini, sebagai suatu stimulant untuk membuktikan bahwa mahasiswa Azhar jauh lebih baik dari apa yang di representasikan dalam film ini melalui karya dan pengabdian ilmu untuk umat kita khususnya di negeri ini, bukankah penilaian Allah lebih sempurna dari penilaian manusia? dan menurutku..You shouldn’t say to everyone about who you are, but people will judge you from what you’ve done. (Hm..sok diplomatis..!! J )

juga jangan khawatir lahirnya sastrawan dari Azhar akan merendahkan ‘prestise’ Azhar sebagai rahim untuk lahirnya para intelektual islam, tetapi karya sastra Islami juga adalah karya intelektual yang luar biasa yang bisa di gunakan sebagai amunisi dalam perang ideology yang merebak saat ini. so stay cool coz everyone can take their own role, dan Rosulullah SAW pun dulu tidak pernah melarang adanya syair2 yang juga merupakan salah satu karya sastra, yang harus lebih di perhatikan tentunya adalah muatan atau contentnya.

Wallahu’alam

Jakarta 10’03’08

Alzrie

Tidak ada komentar: