Kamis, 10 April 2008

Dikotomi Ilmu, Navigasi sekularisme

jika kita merujuk kembali, membuka lembaran sejarah, betapa banyak terukir kenangan indah, kemenangan, kejayaan umat ISlam. bukan dalam rangka arogansy jika umat Islam mampu menaklukkan dunia bahkan menjadi kiblat peradaban dan pusat pendididikan. tak bisa di pungkiri bahwa AndalucĂ­a, Bagdad di masa dinasti abasia, telah menjadi saksi bisu indah kenangan itu. berbagai ilmu pergetahuan yang kini berkembang mulai dari kedokteran, matematika, bahkan teknologi persenjataan adalah bagian dari warisan umat islam abad2 lalu. kita mungkin terkesima walau hanya sesaat akan semua kenangan indah itu, namun begitu sulit merangkai kembali atau meneruskan kejayaan yang terhenti. tapi that's the reality, kenyataan yang kita hadapi saat ini sungguh jauh berbalik jika di banding pada kejayaan Islam dulu ketika saat itu Islam mampu menjadi kiblat ilmu pengetahuan dunia, Islam tidak hanya menjadi umat yang banyak memberikan manfaat bagi bangsa lain juga menjadi umat yang di segani.

kemunduran umat islam saat ini salah satunya di sebabkan oleh adanya dikotomi keilmuan yang memisahkan ilmu agama (syariah) dan ilmu umum (sekuler). sehingga muncul ketimpangan pengetahuan dalam diri muslim ketika ilmu agamnya bagus tetapi tidak mengerti tentang ilmu umum demikian juga sarjana2 dari ilmu umum kemudian menjadi "orang awam" ketika bersentuhan dengan ilmu syariah.

sebenarnya Islam tidak mengenal dikotomi ilmu tidak ada perbedaan antara ilmu umum dan ilmu agama ini di kuatkan oleh bukti banyak ulama klasik yang menguasai lebih dari satu otoritas keilmuan. Seorang Ibn Rusyd, misalnya, adalah ahli filsafat, ahli fikih, sekaligus seorang pakar kedokteran. kemudian Ibn Nafis adalah dokter ahli mata, plus ahli fikih. Ibn Khaldun, sosiolog Islam ternama, juga seorang ahli fikih, Imam Syuyuthi menguasai lebih dari 7 disiplin ilmu. yang ada adalah perbedaan peringkat ke-farduannya. ilmu agama(syariah) sifatnya fardu'ain sedangkan ilmu umum itu sifatnya fardhu kifayah (www. cybermq) pembedaan ke-fardu-an ini tentu juga membedakan skala prioritasnya, jelas bahwa ilmu agama lebih prioritas tapi bukan berarti belajar ilmu agama kemudian melupakan urgensi ilmu-ilmu umum. karena tidak bisa di tolak bahwa ilmu umum banyak menunjang kesejahteraan umat. Cuma dalam penerapannya Ilmu agama haruslah di ajarkan lebih dulu karena berperan sebagai benteng ataupun pondasi. dan para ulama klasik banyak yang berpendapat bahwa kedua-duanya penting untuk di pelajari.

dikotomi ilmu ini berakar dari perbedaan epistimologi ilmu dalam ISlam dan barat. llmu dalam islam tidak bisa di terjemahkan dengan "science" dalam bahasa inggris. karena menurut dunia barat sesuatu itu di anggap ilmiah jika memenuhi kebenaran realitas empiris. sedangkan epistimologi islam bersandar pada Wahyu dan realitas (empiric). dalam Islam kata "Ilmu" sangat luas cakupannya tidak hanya sesuatu yang sifatnya materialistic (fisik) tetapi juga metafisik. berbeda dengan barat yang memiliki paham materialisme di mana sesuatu yang di anggap "science " itu hanya yang di ketahui secara nyata keberadaan materinya (fisik) dan hal2 yang tidak bisa di veririkasi dengan panca indra di anggap tidak ilmiah. dan ketika konsep "science" ini di terapkan dalam dunia islam seperti di Indonesia, lahirlah dualisme keilmuan ini. dualisme keilmuan ini membawa banyak kerugian bagi umat islam terutama dalam konsep keilmuan itu sendiri, yang sering mempertentangkan antara Wahyu dan akal. padahal keduanya merupakan sarana ilmu yang mempunyai otoritas tersendiri. Wahyu sebagai sumber ilmu dan akal sebagai alat untuk menterjemahkan Wahyu tersebut.

dikotomi ilmu ini jua yeng mengilhami kemunduran umat ini, realitas yang ada saat ini adalah banyak nya sarjana agama yang tidak peduli bahkan mengabaikan ilmu umum, dan sebaliknya banyak sarjana ilmu umum yang "tidak ngerti" agama. di sinilah terjadi imbalancing atau ketidak seimbangan, ketika sarjana agama hanya bisa berkutik di ranah syariah dan sarjana umum yang hanya ahli di bidang umum seandainya sarjana umum faham ilmu agama maka dia tidak akan keluar dari etika "beragama" dalam keilmuannya begitu juga sebaliknya. sehingga harus di bedakan juga tentang spesialisasi ilmu, misalnya ahli agama tidak juga harus mahir ilmu matematika, jago fisika, tapi setidaknya mengerti, dan begitu juga yang ahli kedokteran, ahli kimia tidak harus juga jadi ahli fikih tapi harus mengerti tentang fiqih.

sayang nya lagi yang ada saat ini, sekolah umum sebagai yang hanya mengajarkan ilmu umum masih jauh lebih banyak di banding sekolah agama yang masih mendapat ruang yang sempit sebagai konsekwensinya ya kita lihat kenyataan sekarang, degradasi moral yang menjadi pemicu hancurnya generasi ini, ini di sebabkan pondasi ilmu agama yang lemah. sehari2 di sekolah umum mereka hanya di cekoki ilmu2 yang umum yang di fahami sebagai "ilmu" ciptaan manusia, bahkan ilmu agama biasanya hanya diajarkan satu kali dalam seminggu itupun hanya 2 jam pelajaran. bisa di bayangkan hasilnya kalau generasi ini memahami ilmu dengan kacamata "scincce" nya orang barat, yang jauh berbeda dengan konsep "ilmu" dalam islam. ujung2nya harus kita sadari bahwa inilah "buah dari sekularisme", yaitu pemisahan antara agama dan hal-hal yang bersifat duniawi. dan mengaminkan liberalisme, sehingga seorang ulil absor tokoh islam Liberal mengatakan bahwa Alqur'an itu harus di pahami dengan cara seperti ilmu pengetahuan lain dalam konsep barat (Science) sehingga dalam mempelajari islam dan alqur'an secara ilmiah harus menyingkirkan "faith-based". tentu ini jauh bersebrangan dengan tuntunan kita dimana faith itu lah yang di jadikan dasar untuk memahami ilmu. bagi kita kedukukan "nash" itu jauh lebih tinggi dari akal.

menurutku bukan hal yang make sense jika libealisme, sekularisme di anggap sebagai solusi dari problematika kemunduran umat ini. tapi justru yang di perlukan adalah reformasi pendidikan. dengan menyingkirkan dikotomi ilmu maka, generasi ini kelak akan mempunyai "fondasi" yang kuat dalam keimananya dan mempunyai kemampuan "akademis" yang memadai untuk bisa bersaing di ranah global, sehingga akan lahir generasi yang mendekati "rahmatan lil 'alamin". yang kuat iman, cakap, prestatif dan mandiri yang akan mampu membangkitkan keterpurukan dan mengejar ketertinggalan umat ini.


190907
Alzrie

Tidak ada komentar: