Kamis, 10 April 2008

:: Friendship::

Banyak orang mungkin menganggap kata sahabat adalah kata yang biasa, hal yang sering terucap dan Sah-sah saja ketika kita menyebut sahabat kepada teman yang baru ketemu, kepada teman kita sering makan bareng atau jalan bareng. dan esensi dari kata “sahabat” sering kali mengalami transformasi makna ketika melibatkan subjek pemakainya.

Suatu ketika Imam Ali di Tanya oleh seseorang “siapakah sahabat mu? Imam Ali RA menjawab, “aku tidak tahu” Kenapa Engkau tidak tahu wahai Amirul Mu’minin? Imam Ali kembali menjawab “karena saat ini dunia masih dalam genggamanku, kelak kalau dunia sudah tidak dalam genggamanku aku akan tahu siapa sebenarnya sahabat dekatku.

Dari cerita di atas kita bisa flash back ke realita kehidupan kita, mungkin banyak kita menemui teman yang mungkin sering kita anggap sahabat karib, teman deket dsb. Dan sering kali di antara mereka mempunyai karakteristik yang berbeda, motivasi yang berbeda dan cara “bersahabat” yang berbeda. Ada yang bersahabat karena orientasi duniawi, bahasa gaulnya seh “teman ketika senang” ada sahabat yang merambah ke orientasi ukhrowi. Tentunya bukan physical apperarence, kekayaan apalagi kedudukan yang bisa mengangkat seseorang menjadi setatus “sahabat”. Tetapi dalam kapasitas kita sebagai seorang muslim “sahabat” harus di relevantkan dengan konsistensi kita sebagai “saudara seiman’ yang di ikat oleh akidah.

Rosulullah pernah mengingatkan, berteman dengan pandai besi akan terkena bau besi, bergaul dengan penjual minyak wangi akan terkena bau wangi”. bukan berarti kita hanya boleh bergaul dengan orang yang baik saja. Tapi pernyataan rosul ini adalah sebuah peringatan secara general untuk memilih “teman” atau “sahabat” bahwa hendaknya berhati-hati karena sangat significant pengaruhnya terhadap pribadi kita. Hingga untuk menjadi sahabat bagi mereka yang “lebih awam” dari kita memerlukan “benteng”, “modal ilmu” dan usaha agar bisa membawanya lebih baik (di sinilah medan dakwah kita) agar kita tidak terbawa, karena sering terjadi, bukan kita yang membawa lebih baik tapi justru kita yang terbawa menjadi tidak baik. Di samping itu kita perlu mengimbangi diri dengan memperbanyak sahabat dengan yang lebih baik akhlaknya, yang lebih banyak ilmunya dan tentunya lebih salih or salihah dari kita, karena selain sebagai Charger saat iman kita lagi down, dia juga akan menjadi stimulant untuk membuat kita ingin menjadi lebih baik.

***
Thus..seperti apa seh seharusnya seorang sahabat itu? Sahabat ‘sejati’ tidak akan pernah muluk-muluk dalam memuji, apalagi memberikan pujian semu yang sering kali membuat yang di puji terlena bahkan jadi ujub. Tapi sahabat sejati justru akan sering mengkritik ketika kita salah bukan karena ingin mencari kelemahan kita tetapi karena tidak rela jika kita tergelincir. Sahabat sejati tidak hanya senang ketika di ajak berbagi kesenangan justru dia merasa senang ketika kita mengajaknya berbagi kesulitan. Dia adalah orang yang berusaha selalu ada saat kita dalam kesedihan. Dia juga orang yang akan selalu setia bersama kita ketika semua orang pergi menjauh, menghina dan menghujat kita. Dan hebatnya lagi sahabat sejati tidak akan pernah rela jika kita “salah langkah”, sekuat tenaga dia akan berusaha membimbing kita kembali. Juga diam-diam dia akan selalu mengingat kita dalam do’a-do’anya karena baginya persahabatan tidak hanya berakhir di dunia ini tetapi dia berharap akan berlanjut di kehidupannya nanti.

Jika saat ini kita belum menemukan “sahabat sejati” maka akan lebih baik jika mulai saat ini kita berusaha menjadi seorang “sahabat sejati”.

Jakarta 211107
Alzrie

Tidak ada komentar: